Editor's Vids

KONFLIK DAN KEKERASAN TIMIKA: KONFLIK SISTEM NOKEN JILID I PRA PILEG PROVINSI PAPUA

By. Pares L.Wenda
Setidaknya dapat dikatakan bahwa konflik Timika antara Suku Dani dan Suku Moni adalah pengulangan dari konflik konflik di masa lalu yang kemungkinan dihidupkan kembali. Namun juga merupakan bagian dari scenario konflik sistemn noken Jilid I dalam masa pileg di Provinsi Papua. Kita semua tahu peta konflik wilayah yang sangat rentan untuk memicu konflik baru terjadi di Tanah Papua. 
Saat ini telah mamasuki masa-masa kampanye, setelah dua tiga bulan lalu, di Provinsi Papua berada dalam perdebatan tentang system noken yang cukup menyita energy, dan perhatian publik di daerah ini dari berbagai pihak. Baik politisi, pemimpin daerah, akademisi, pemerhati sosial politik, praktisi hukum, bahkan diskusi lebih lanjut banyak dilakukan pengguna media sosial terutama di facebook.

Setidaknya pernyataan terakhir datang dari Kepala Kantor Komnas HAM Provinsi Papua (lihat. Frizt Ramandey. http://bintangpapua.com edisi 13 Maret 2014) dan (Debora Mote. http://bintangpapua.com edisi  15 Maret 2014). Fritz Ramandey dalam kapasitasnya sebagai Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua mengatakan bahwa “Sistem Pemilu hanya ada satu, yaitu system pemilu yang diatur secara nasional, dan karena itu jangan lagi ada istilah baru seperti istilah system noken. Jika demikian kita membuat system baru di dalam system pemilu yang di atur secara nasional”, sementara Debora Mote, Anggota DPRP dari wilayah pemilihan 3 ini mengatakan bahwa system noken dengan cara system ikat telah merugihkan banyak perempuan yang menjadi anggota Legisltive, karena system ikat itu hanya diperuntukan bagi kaum Adam bukan untuk kaum Hawa.  Ada tiga perspektif yang mucul disini, pertama system pemilu nasional, system noken dan sostem ikat. Mari kita lihat siapa yang usung 3 sistem di atas. 

Pertama system pemilu diatur secara nasional dan merupakan amanat konstitusi Negara, yang diatur kemudian di dalam UU Pemilu dan eksekutornya adalah KPU secara independent dari Pusat hingga ke daerah-daerah. Dalam konteks pengisian suara dalam system pemilu nasional digunakan kotak suara, box berukuran  segi 4 dengan lebar 40cm, panjang 40cm dan tinggi 60 cm. harga produksi sampai pengiriman ke Kab/Kota seluruh Indonesia kira-kira Rp.145.000 per kotak suara. (lihat: http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=4987).

Kedua system Noken, system noken dalam sejarahnya mulai digunakan di wilayah pegunungan tengah sejak 1977/78. Tetapi system noken menjadi soal ketika putusan Nomor: 47-48/PHPU.A-VII/2009.  Tertanggal 09 Juni 2009 dari kasus Yahukimo pada Pileg 2009 silam. Dan selanjutnya sengketa Pemilukada di wilayah pegunungan tengah dengan menggunakan system noken 100% penyelesaian akhir di MK dan yang paling terakhir adalah Pilgub Papua 2013, ini telah masuk dalam kategori konflik structural dan actual dengan beberapa kasus yang nampak. System noken diperkenalkan oleh MK berdasarkan kasus bukan diatur dalam tata normaa hukum. Sehingga dalam system hukum Negara Indonesia, sesuatu yang bersifat kasuistis tidak bisa menjadi norma hukum tetap. Meskipun disatu sisi konstitusi Negara menghargai kearifan lokal, dan karena itu dengan  kasus ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum, mesti di atur dalam norma hukum tetap untuk memenuhi amanat konstitusi tentang kearifan local dimaksud. Ini jelas, kalau ada yang berpandangan lain dari alur di atas, itu hanya statemen politis saja. 

Dan sejauh ini KPUD membayar berapa kepada mama-mama pemilik noken, apakah noken dihargai setara dengan  harga satu “Kotak suara” atau hanya diminta secara sukarela kepada mama-mama untuk mendukung proses demokrasi. Ini mungkin satu soal yang perlu diteliti, kalau tidak pernah ada transaski KPUD dan mama-mama dan tekan kontrak pembuatan noken untuk digunakan dalam pemilu maka disini sudah pasti bepotensi “KORUPSI UANG NEGARA” dan terjadi PEMBODOHAN terhadap mama-mama pemilik NOKEN di wilayah pengguna system noken. PEMBODOHAN DEMOKRASI DAN PEMBODOHAN TERHADAP BISNIS KEWIRAUSAAN mama-mama Papua. Jadi system noken yang dimaknai disini adalah wadah noken yang digunakan sebagai pengganti kotak suara di daerah pengguna system noken.

Ketiga system ikat, dalam pernyataan ketua MRP Timotius Murib ketika diminta sebagai nara sumber dari sengketa pilgub Papua Maret 2013 dihadapan hakim MK, ia mengatakan bahwa dipegunungan dikalangan orang Lani dikenal dengan “system lidi” dalam penghitungan mate-matika, ketika masyarakat Lani membayar maskawin, atau membayar ganti rugi, atau membayar biaya perang dari akibat perang itu sendiri kepada para pihak yang korban, entah korban nyawa maupun harta benda dari pihak pelaku. Pernyataan Timotius Murib itu benar, karena yang saya ketahui dalam kebudayaan orang Lani hanya mengenal 3 huruf, dan membantu jumlah barang yang dibayar dalam jumlah besar dihitung menggunakan system lidi “lidi adalah sebuah kayu berukuran kecil-kecil yang dibawah kemudian saat menghitung kayu-kayu itu dipatahkan” dan mulai menghitung sejumlah barang yang dibayarkan dan siapa dapat berapa itu dilakukan. System ini masih digunakan pada tahun 1980-1990-an waktu saya masih SD, bahkan waktu saya masih duduk di SD INPRES Tiom, kami diminta oleh guru mate-matika, membawah lidi yang sudah dipotong dalam ukuran tertentu untuk dibawah sebagai alat bantu dalam belajar mate-matika. Namun cari ini diklaim oleh wilayah Mee yang membedakan system noken dan system ikat dalam pemilukada di wilayah itu. Bagaimana system ikat dalam wilayah adat Mee perlu ada riset khusus. Tetapi di wilayah adat La Pago minimal seperti yang telah saya sampaikan disini.

Dari tiga system di atas dapat terlihat bahwa dua system berasal dari cara budaya lokal dan satu berasal dari system nasional terutama dalam “system kotak suara”. System kotak suara secara nasional telah diatur dalam UU. (lihat contoh UU: http://hukum.unsrat.ac.id/inst/kpu_27_2008.pdf) . Sementara dua system tidak diatur atau tidak diakomodir dalam UU Pemilu. Dia berjalan alami tanpa ada regulasi. Dua system itu kemudian menjadi berpotensi konflik karena “klaim atas satu kampung, distrik, satu tempat atau lokasi pemungutan suara itu diklaim oleh seorang big man, atau mengatas namakan big man tanpa pemungutan suara langsung diklaim bahwa daerah A, kampung B, atau tempat pemungutan suara C adalah milik kandidat A (dalam pilpres atau pemilukada) dan milik si A, B atau C dalam pemilihan Legislatif. Inilah yang berpotensi konflik karena tanpa pemilihan one man, one vote sudah diklaim bahwa daerah ini milik si A, B dan C dan seterusnya. Contoh kongkrit adalah terbunuhnya seorang Yason Karoba di Distrik Gilimbandu, Kabupaten Tolikara. Beliau dibunuh akibat klaim suara seperti di atas.

Kalau konflik Timika terus dipertahankan dan memasuki 9 April 2014. Maka ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pileg ditunda atau system noken yang diberlakukan, yang nantinya berpotensi konflik ganda. Kalau pemerintah sudah mengamankan tetapi yang terjadi pasti competitive negociation seperti yang selama ini pemerintah atau aparat keamanan lakukan. Pemerintah jarang melakukan penyelesaian konflik dengan pendekatan peacebuilding tetapi tetapi selalu dengan pendekatan peacemaking atau juga peacekeeping dengan pendekatan teknik competitive negotiation yang pada akhirnya konflik selalu kembali muncul entah itu di Timika atau konflik di daerah lain di Papua.

Supaya tidak terjadi konflik dalam system noken, karena di duga kuat bahwa system noken akan berlaku di wilayah pegunungan termasuk Timika untuk beberapa distrik yang jauh dari Ibu Kota Mimika, maka saran saya adalah control media sangat dibutuhkan disini, tetapi juga aparat harus netral dalam mengawal proses demokrasi dalam pileg ini agar masyarakat dapat menyalurkan hak suaranya, meskipun dengan menggunakan system noken. Demikian halnya Panwas yang paling diberitanggungjawab untuk mengawasih agar kawal benar prose pileg di Papua.

Apa yang terjadi di masa lalu adalah pembelajaran berharga bagi pembangunan demokrasi  di Papua. Namun pasti akan muncul terminology lama bahwa biaya besar, daerah terisolasi akan mewarnai proses demokrasi kali ini. Kalau semua itu masih ada maka pembangunan demokrasi di Papua sebenarnya berjalan ditempat, bukan mengalami kemajuan. 

Akhirnya selamat melaksanakan pileg dan selamat buat anda kontestan pemilu legislative dan kawal suara anda agar hak anda untuk duduk di DPRD, DPRP, DPR RI dan DPD RI terakomodir. Tidak dimanipulasi oleh PPS, KPPS, PPD, KPUD dan Pemerintah Daerah.


Penulis adalah Wakil Direktur Lembaga Intelektual Tanah Papua dan Sekretaris Baptis Voice.  

KONTROVERSI PERAN BIGMAN DALAM PEMILIHAN SISTEM NOKEN DI PAPUA

Oleh : Melkior N.N Sitokdana 
Yang dibahas dalam tulisan ini adalah peran Bigman dan noken sebagai symbol/alat politik. Subjek pemilih pada sistem noken adalah orang yang berpengaruh dalam sebuah komunitas masyarakat adat. Orang yang dimaksud  memiliki kemampuan atau kelebihan tertentu sehingga masyarakat setempat mengakuinya sebagai orang yang berwibawa. Beberapa suku mengakui seseorang atas kewibawaannya karena mampu memimpin kepentingan umum masyarakat setempat, seperti : (a) memimpin upacara adat, (b) membuka kebun kampung, (c) mendirikan rumah, (d) mampu menyelesaikan masalah, (e) mampu mengambil keputusan, misalnya dalam kondisi perang suku. Ada juga pemimpin-pemimpin klan yang diakuiberdasarkan senioritas dan prestasi.
Secara umum kepemimpinan di Papua ada empat yaitu (1) Tipe big man meliputi sebagian besar wilayah pegunungan tengah (Dani, Lani, Yali, Mee, Me/Mek dan Ok dan beberapa suku lainnya). Kepemimpinan diwilayah ini karakteristiknya bersifat terbuka (open sosial stratifcation status), sumber kekuasaan: kemampuan individual, kekayaan, kepandaian berdiplomasi/pidato, keberanian perang, fisik tubuh yang besar, sifat bermurah hati, dsb.. (2) Tipe raja, meliputi wilayah-wilayah kontak dengan kesultanan Ternate-Tidore, misalnya Raja Ampat di daerah kepala burung, Semenanjung Onin,Teluk Macluer (Teluk Beraur) dan Kaimana. Karakteristik kepemimpinan ini bersifat Closed Social Stratifcation Status, kedudukan turun temurun pewarisan berdasarkan senioritas kelahiran dan klan. (3) Tipe kepala suku/ondoafi, tipe ini meliputi wilayah Tabi, Nimboran, Teluk Humbolt, Table, Yaona, Skow, dan Waris. Karakteristik kepemimpinan ini, pewarisan kedudukan tradisional. Wilayah/teritorial kekuasaan terbatas pada satu kampung dan kesatuan sosialnya terdiri dari golongan atau sub golongan etnik saja dan pusat orientasi adalah religi. (4) Sistem campuran, berciri pewarisan (chief) terdiri dari kerajaan dan Ondoaf. Diperoleh melalui pewarisan dan pencapaian kemampuan individualnya (prestasi dan keturunan). Tipe initerdapat pada penduduk Teluk Cenderawasih, Biak, Wandamen, Waropen, Yawa, dan Maya (kemitraan, 2012).
Gagasan ini lebih menekankan pada peran Bigman dalam sistem noken. Pada dasarnya suku-suku yang ada di pegunungan tengah memilki tipe kepemimpinan yang sama, hanya kecenderungan kekuasaan agak sedikit berbeda, misalnya di Suku Dani, yang dominan adalah kepala perang. Pada suku-suku Ok Family dan Me/Mek Family di Star Mountains (Sekarang Kabupaten Pegunungan Bintang), bersifat dinamis, dimana setiap orang dapat menjadi  Bigman (bahasa Ngalum : Kitki) sepanjang mendapat pengakuan komunitas dalam wilayah tertentu. Sehingga untuk menjadi Bigman tidak dipilih tetapi diakui sebagai pria berwibawa karena miliki kemampuan atau kelebihan dalam bidang tertentu. Dengan adanya pengakuan tersebut, tidak serta-merta orang tersebut menggunakan kekuatannya untuk kepentingan politik kekuasaan. Pada prinsipnya mereka lebih banyak menggunakan musyarawah dan mufakat bersama.
Secara umum, Ok Family dan Me/Mek Family mengenal 6 macam pemimpin, yaitu (1) Oksangki/Okhangki adalah tokoh adat yang bertanggung jawab pada kesenian dan upacara-upacara sakral yang melibatkan tari-tarian. (2) Om Bonengki, tokoh adat ini bertangung jawab dalam hal pengelolaan lahan perkebunan dan makanan pada suatu komunitas. Secara khusus, jenis tanaman yang menjadi tanggung jawab tetua adat ini adalah om (keladi) dan boneng (ubi rambat). (3) Ap Iwol/Iwoo Ngolki, yaitu seorang pemimpin rumah adat pria. Ia mengatur masalah-masalah keagamaan dan menjadi pemuka upacara dan ritus yang berkenaan dengan daur hidup, dengan kekuatan-kekuatan di alam gaib dan manusia. Ap Iwol/Iwoo Ngolki sering kali dipandang sebagai tokoh adat yang meneruskan berbagai pengetahuan yang diperolehnya dari generasi sebelumnya. (4) Kaka Nalkonki adalah tokoh adat yang bertanggung jawab dalam hal peperangan. Dia tidak hanya berperan sebagai pemimpin perang, tetapi juga harus mahir dalam mengatur taktik perang, juga dapat menghentikan suatu permusuhan yang berlarut-larut dengan jalan mendamaikan pihak-pihak yang bermusuhan. ( 5) Barki /Baaki adalah tokoh adat yang berwenang menerima warisan moyang dan berperan sebagai lakonis lagu sakral dalam setiap upacara ritual. (6) Basen/Baahen, Lebuk Ngolki adalah tokoh adat yang bertanggungjawab dalam pendidikan adat pada jenjang Top Level (Agung Dwi Laksono, dkk/kemenkes, 2012).Pria berwibawa di suku-suku ini memiliki peran sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya, sehingga tidak ada pemimpin yang memiliki kekuasaan lebih besar  untuk  dapat menguasai kelompok masyarakat adat tertentu. Setiap pria berwibawa saling membutuhkan, karena masing-masing mempunyai kelebihan tersendiri. Dalam satu perkampungan memiliki banyak pria berwibawa, sehingga mudah bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. 
Sejumlah pria berwibawa yang ada di wilayah pegunungan tengah memiliki pengaruh terhadap masyarakat setempat. Oleh karena adanya pengaruh,  sistem politik modern memanfaatkan pengaruh Bigman untuk kepentingan pemilihan umum legislatif dan eksekutif. Sistem ini tidak terlepas dari sebuah sistem yang dirancang NKRI ketika saat PEPERA 1969, dimana yang harusnya one man one vote, diwakili oleh para pemimpin dari setiap suku dan sub-sub suku yang ada. Diwilayah pegunungan tengah, diwakili oleh para Bigman, dimana saat itu mereka diancam, diintimidasi, diteror dan diberi imbalan barang, seperti supermi, jam tangan, kapak, pakaian, radio, dsb, agar mereka mewakili masyarakat untuk memilih bergabung bersama NKRI. Modus tersebut mulai dipelihara oleh elit politik, dimana mulai tahun 1977 pemilihan umum dilakukan dengan sistem noken (diwakili oleh para Bigman). Modus tersebut masih dipelihara hingga sekarang, cara ini dipandang sebagai cara paling instan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa membuang banyak biaya, waktu dan tenaga.
Pada dekade terakhir ini, masih beberapa daerah masih menggunakan sistem noken, terutama dalam pemilihan kepala daerah. Sistem ini kemudian diperbincangkan disaat pemilihan legislatif dan presiden 2014, berbagai kalangan saling berdebat mengenai keabsahan sistem pemilihan umum menggunakan noken. Kita ketahui bersama bahwa Noken adalah alat kebudayaan Papua yang  diwariskan dari nenek moyang pada setiap suku. Alat itu berupa tas multi fungsi yang terbuat dari anyaman serat kulit. Atas perjuangan putra terbaik Papua, Titus Pekei, UNESCO pada 4 Desember 2012 telah menetapkan Noken sebagai salah satu hasil karya tradisional dan warisan kebudayaan dunia. Noken mengandung philosofi tersendiri karena telah ada di dalam rumah-rumah adat sesuai klen/keret. Menurut Gerald Bidana pada media Tabloid Komapo News, edisi 1 (9 februari 2014), noken atau dalam bahasa Ngalum Ok adalah Menmengandung arti sebagai sumber penghidupan, sumber insfiratif, penopang dan penjala pikiran manusia, penyatuan kehidupan sebuah keluarga yang harmonis. Men juga menunjukkan keberadaan dan jati diri seorang wanita yang dengan tenang, jelih dan bijak dalam mengendalikan kehidupan keluarga. Wanita yang memiliki ketrampilan dalam mengerjakan, menyulam dengan jumlah yang banyak. Apabila seorang wanita tidak mampu menyulam dan menggunakan Men yang lebih dari tiga (3) buah, maka bisa dianggap wanita itu tidak siap sebagai calon ibu rumah tangga, tidak tahu bekerja keras dan jarang disukai kaum pria. Dapat juga dipercapai sebagai bentuk ke-ADA-an seseorang di dalam kehidupan bersama, menunjukkan kehadiran manusia di bumi, sebagai simbol keberuntungan hidup seseorang atau simbol kepribadian seseorang. Selain itu, sebagai simbol seorang ibu rumah tangga yang menyimpan rahasia keluarga. Dengan demikian secara sederhana Men adalah alat yang digunakan untuk menyimpan segala sesuatu dalam menopang kehidupan manusia secara personal maupun satu unit keluarga.
Noken tidak hanya sebatas yang diuraikan seperti diatas, sekarang lebih dari itu, misalnya digunakan sebagai simbol  demokrasi di Papua. Noken tidak hanya sebagai pengganti kotak suara, tetapi lebih pada peran Bigman mewakili komunitas masyarakat adat untuk menentukan pemimpin legislatif dan eksekutif. Mengenai ini, banyak mengundang pro dan kontra, bahkan pernah disengketakan dan diputuskan melalui KeputusanMahkamah Konstitusi (MK) nomor 48 tahun 2011. Menjelang pemilihan Legislatif dan Pilpres 2014, kembali diperdebatkan keabsaan sistem noken, Misalnya, Ketua Komisi Pemerintahan, Hukum dan HAM DPR Papua, Ruben Magay mengatakan sistem noken pada pemilihan umum di Papua seharusnya tak bisa ditiadakan, sebab noken adalah budaya orang asli Papua. “Dalam sistem noken terdapat nilai demokrasi, yakni musyawarah untuk mufakat. Ini tradisi yang dilakukan oleh masyarakat, khususnya masyarakat pengunungan tengah Papua,” ujarnya di Jayapura, Selasa (18/02/14). Sementara, Gubernur Papua, Lukas Enembe menuturkan penghapusan sistem noken pada pemilu legislatif dan presiden di Papua sulit dihindari, terutama bagi warga di pedalaman Papua. Sebab, penggunaan sistem noken telah terjadi di Papua sejak tahun 1977, pemilu pertama berlangsung di tanah Papua. “Jika sistem ini mau dihapus, maka butuh proses. Di daerah terpencil dan sulit dijangkau, belum tentu juga ada Babinsa di sana, maka sistem noken dapat terjadi di daerah itu, dengan cara keterwakilan,” jelasnya di Jayapura Selasa (18/02/2014, www.tabloidjubi.com).
Sedangkan yang kontra dengan sistem noken, seperti Forum Anak Adat dan Perintis Peduli Demokrasi Nabire meminta sistem noken harus di hapus, pasalnya, sistem ini secara tidak langsung membatasi hak memilih (15/02/2014, www.tabloidjubi.com). Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai mengatakan, penggunaan sistem noken jelas bukan hanya berpotensi melanggar hak asasi, namun juga merusak azas pemilihan umum. "Jelas tidak 'luber (langsung, umum, bebas, rahasia) dan jurdil (jujur dan adil)', pemilu itu individu bukan komunal," kata Pigai dalam kesempatan yang sama. Bukti sistem noken yang tak demokratis, di daerah pegunungan Papua hampir setiap suku mencoblos calon yang sama. "Jadi di suku A semua coblos calon nomor urut satu, calon nomor urut dua itu nol (tidak ada yang memilih). Berbeda di suku B yang semuanya coblos calon nomor urut dua," jelasnya. Pemilu Legisatif (Pilleg) 2014 di Papua, yang menurutnya tidak boleh menggunakan sistem Noken, karena menurutnya hal tersebut bila dilaksanakan merupakan sebuah pelanggaran HAM. “Dari konstruksi instrumen hukum HAM internasional, nasional sampai dengan adat istiadat di Papua, saya pastikan sistem Noken adalah melanggar HAM dan tidak dibenarkan,” cetusnya ketika memberi sambutan pada acara Sosialisasi bagi Pemengku Kepentingan Penyelenggaraan Pemilihan Umum 2014 Yang Damai, Berkualitas, Bermartabat, Berkemandirian, Berintegritas dan Berkredibilitas pada, Sabtu (18/01/14) di Gedung Sasana Krida Kantor Gubernur Papua.
Dirinya menambahkan, “Sistem Noken kalau itu diperbolehkan berarti ketidakmampuan Pemerintah untuk memastikan kepastian partisipasi politik. Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia (nomor) 39 tahun 1999, Pasal 71 itu sudah jelas bahwa pemerintah bertanggungjawab, pemerintah mempunyai kewajiban untuk melindungi, memastikan HAM, termasuk hak atas politik, jadi jangan lari ke noken-noken karena tidak mampu datang ke kampung-kampung,” sambungnya.
Ditegaskannya, masyarakat Papua memiliki sifat yang egaliter dan demokratis, dan tidak pernah menganut azas feodalisme yang cendrung bergerak atas arahan satu orang saja yang biasa dianggap sebagai raja. “Ingin saya sampaikan bahwa di Papua itu tidak ada feodalisme, jadi satu orang itu tidak bisa membawa klaim seribu orang. Dari 237 suku yang ada di Papua, hanya ada satu suku yang menggunakan sistem feodalisme, yaitu Suku Dani, dan hal tersebut ditegaskannya tidak bisa mewakili seluruh suku di Papua(11-02/14, www.tempo.co,).
Menurut Ketua KPU Papua, Adam Arisoy pada media tabloid jubi (17/02/14), sistem noken yang selama ini digunakan di Papua khususnya di wilayah Pegunungan pada Pemilihan Umum tak lagi dipakai dalam Pileg dan Pilpres, hal tersebut disampaikan karena belum adanya regulasi hukum yang mengatur penggunaan noken dalam Pemilu mendatang. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 48 tahun 2011 lalu hanya mengatur penggunaan dengan sistem noken dapat digunakan pada pemilihan kepala daerah di setiap kabupaten/kota di Papua. “Sosialisasi tentang larangan penggunaan sistem noken akan terus kami lakukan. Pada pemilihan legislatif, masyarakat harus mencoblos sendiri ke Tempat Pemungutan Suara atau TPS. Tidak ada lagi yang namanya sistem perwakilan. Baik legislatif maupun pemilihan presiden. Kami akan tetap menyiapkan kotak suara, bilik suara dan kelengkapan lainnya,” kata Adam Arisoy, senin (17/02/2014). Menurutnya, KPU Papua telah mengajukan surat ke KPU pusat, terkait larangan penggunaan noken tersebut, namun hingga saat ini jawab belum didapat dari KPU pusat (www.tabloidjubi.com).
Sedangkan Komisioner KPU RI, Arif Budiman menyatakan penggunaan Sistem Noken tidak diatur dalam Undang-Undang, dan kalau pun sebelumnya KPU memperbolehkan sistem tersebut, itu hanya bersifat kasuistis. “Kalau kemudian dalam praktiknya ada noken, dan kemudian di sengketakan, maka sengketa itu putusannya kasuistis,” terangnya. Ia memberikan contoh, dalam pemilukada Yahukimo, dengan berbagai alasan penggunaan sistem Noken diperbolehkan, namun ia menegaskan hal tersebut tidak berarti di seluruh Papua berlaku hal yang sama. Tetapi Arif juga tidak bisa memastikan apakah nantinya KPU sama sekali tidak memperbolehkan penggunaan Sistem Noken dalam pemungutan suara, yang ditekankannya pada momen lain, tapi prinsip-prinsip bahwa Pemilu harus Luber (langsung, Umum, Bebas dan Rahasia) dan Jurdil (jujur dan adil),jadi langsung dilakukan sendiri, umum artinya siapapun yang memenuhi syarat boleh, bebas dia bebas memilih siapapun calon yang dikehendaki, rahasia artinya pilihan dia tidak diketahui oleh orang lain,” ucapnya. “Mau disebut apapun ketika prinsip-prinsip Luber dan Jurdil itu terpenuhi sesuai ketentuan Undang-Undang silahkan saja, itu hanya penyebutan saja. Tetapi sistem noken yang dilakukan itu tidak memenuhi prinsip itu maka tidak bisa,” terangnya. (http://bintangpapua.com, 20-01/2014).
Ketua MK Hamdan Zoelva pun bereaksi, menurut dia, MK tak membenarkan sistem noken dan ikat. Dia pun mengakui terdapat sistem noken dan ikat dalam sengketa pemilukada yang diadili MK. Namun Hamdan meyakinkan Komnas HAM bahwa sistem noken dan ikat adalah kejadian yang kasuistis. "Jadi amat jarang terjadi," kata dia. Menurut Hamdan, sistem noken di Papua terpaksa dilakukan karena pertimbangan geografis wilayah pegunungan yang susah diakses. Sehingga tak semua warga suatu suku dapat turun gunung demi mencoblos di tempat pemungutan suara (www.tempo.co, 11-02/14).
Terlepas dari pendapat berbagai kalangan mengenai sistem noken, menurut hemat saya, sistem noken untuk saat ini tidak efektif untuk diterapkan.Mengapa demikian, (1) seiring dengan pengaruh arus modernisasi, adat-istiadat semakin hari semakin terdegradasi. Masyarakat adat setempat tergantung pada produk budaya luar. Disaat adanya ketergantungan, harga barang melambung tinggi, akses pasar dan daya beli masyarakat semakin minim. Kondisi seperti ini otomatis telah melemahkan kekuatan masyarakat, sehingga mereka membutuhkan bantuan dari pihak lain, terutama pemerintah daerah. Disaat-saat tersebut, para politikus pragmatis memanfaatkan waktu dan kesempatan untuk memberikan bantuan beras, supermi,pakaian, perumahan, dsb. Dengan pendekatan seperti ini tentu sudah melemahkan peran Bigman yang notabennya adalah pria bijaksana, indipenden,dan adil. Tanpa mempertimbangkan kematangan berpikir dan bertindak seorang calon pemimpin, Bigman menggunakan kekuasaannya untuk memilih pemimpin yang memberikan imbilan kepadanya. (2) pemimpin lokal Papua yang ingin bersaing dipentas pemilihan umum legislatif dan eksekutif rata-rata tidak dimatangkan melalui proses pendidikan inisasi adat yang tersistematis. Padahal melalui proses pendidikan tersebut, dapat menciptakan para pemimpin yang kuat secara intelektualitas, emosional dan spritualitas. Karena rata-rata tidak melalui proses tersebut, kematangan berpikir dan bertindak pemimpin Papua semakin lemah, diperparah dengan moralitasnya yang semakin hari semakin hancur, seperti kasus korupsi, minum mabuk, judi, kejahatan, dsb. Dengan demikian, sangat sulit untuk menentukkan para pemimpin yang jujur, adil dan bermoral baik. Jika para pria berwibawa tanpa mempertimbangkan segala aspek dari seorang pemimpin lalu memilih,  dan yang dipilih adalah pemimpin yang tidak mempunyai fondasi ilmu, iman dan moral maka jelas akan melecehkan  kewibawaan, kesakralan, martabat, harga dirinya. Selain itu, kesucian noken yang notabennya adalah sumber penghidupan, sumber insfiratif, penopang dan penjala pikiran manusia, penyatuan kehidupan sebuah keluarga yang harmonis, menunjukkan keberadaan dan jati diri seorang wanita dilecehkan.Sistem noken ini berjalan baik jika melalui prosesi adat yang tersistematis, dengan ini tentunya proses pemilihan pemimpin melalui seleksi alam, tanpa ada pengaruh sistem atau akulturasi budaya. Karena sejak dulu kala, waktu adat istiadat masih alami, menjadi pria berwibawa tidak segampang sekarang, karena semua melalui proses seleksi alam yang dibentuk melalui sistem pendidikan adat. Dengan itu, dapat menciptakan pemimpin yang berpengetahuan, jujur, adil, dan bertanggungjawab. Kearifan lokal itu yang harusnya diangkat kemudian dilegalisasikan. (3) Jika dilihat dari  konteks demokrasi era sekarang, maka sistem noken jelas-jelas melanggar aturan perundang-udangan karena sampai sejauh ini belum ada regulasi yang mengatur tentang sistem noken. Prinsip demokrasi harusnya merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Penyelenggaraan pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat terwujud apabila Penyelenggara Pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta memahami dan menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga negara. Penyelenggara Pemilu yang lemah berpotensi menghambat terwujudnya Pemilu yang berkualitas, seperti yang diamanatkan dalam UU No 15 tahun 2011. Sehingga jika merujuk pada aturan hukum tersebut maka sistem noken tidak dibenarkan. Terlepas dari itu, dalam lingkup budaya, seorang Bigman tidak melalui proses pemilihan, tetapi lebih pada pengakuan masyarakat karena kepandaian, kecerdasan, kebijaksanaan, dan kesejahteraannya. Sehingga seorang Bigman tidak memiliki kewengan untuk menentukan pilihan mewakili banyak orang. Hanya dalam kasus-kasus tertentu, misalnya pada suku Dani, peran kepala suku sangat strategis karena mengandung asas feodalisme. Dengan demikian,  kepala suku memiliki kewenangan  untuk mewakili banyak orang dalam melakukan pemilihan. Kesimpulan; (1)Sistem noken adalah adopsi sistem PEPERA 1969. (2) Untuk saat ini, sistem noken tidak akan efektif, malah akan menimbulkan konflik horizontal. Hal ini bisa terjadi karena peran Bigman lemah, sehingga gampang sekali dipengaruhi dengan berbagai cara, seperti yang terjadi pada PEPERA 1969. Jika sistem Noken ingin diterapkan maka harus kembali kepada adat-istiadat, terutama pemilihan pemimpin melalui proses seleksi alam  yang dihasilkan melalui  sistem pendidikan adat.

DUA HARI KONFLIK MONI-DANI, 63 ORANG TERLUKA, 2 ORANG TEWAS

    Perang suku di Timika (Ist)
    Konflik antar kelompok masyarakat di Timika (Ist)
    Suva, 14/3 (Jubi)—Konflik masyarakat Moni versus masyarakat Dani yang berlangsung selama 2 hari, 11 Maret hingga 12 Maret lalu di Timika, Papua telah melukai puluhan orang dan menewaskan 2 orang. Korban luka yang mencapai angka puluhan orang ini, satu diantaranya seorang wanita.
    “11 Maret 2014 jumlah korban 4 orang. Perempuan 1 orang. Laki-laki 2 orang luka kena panah 1 org. Luka kena peluru cis (senapan angin-red) 1 org. Luka tembak peluru aparat 1 org dan luka karena kena benda tumpul 1 orang. Salah satu korban diatas adalah seorang polisi,” tutur Maria Florida Kotorok, kepala bagian Humas Rumah Sakit Mitra Masyarat Timika, 14/3 melalui surat elektroniknya
    Hari berikutnya, 12 maret 2014, jumlah korban yang datang ke RSMM bertambah. “Jumlah korban 61 org. Jumlah korban perempuan 2 orang dan laki-laki 59 orang. Korban kena peluru 5 org, korban kena peluru cis 9 org dan sisanya semua korban kena panah,” tutur wanita asli Mimika ini.
    Jumlah ini belum terhitung korban luka yang berobat ke RS Pemerintah Daerah. Dua korban dari lima korban peluru aparat keamanan itu telah meninggal dunia. Tiga lainnya, menurut Maria, masih menjalani pengobatan di rumah sakit.
    Menurut wanita yang akrab dengan sapaan Mey ini, anehnya yang terjadi adalah konflik antar masyarakat tapi ada korban penembakan. “Kenapa ada korban peluru? Polisi harus membuka siapa pemilik peluru ini,” harapnya.
    Sebab jika tidak diungkap, menurut Mey, ada upaya pembunuhan massal terhadap orang Papua sedang berlangsung atas nama perang suku. “Aparat bilang perang suku jadi selesaikan secara adat. Jadi tong baku bunuh didepan polisi. Pembiaran. Sampai bangsa papua habis, tinggal nama, mati sia-sia,” kata Maria.
    Menurut Pater Neles Tebay, tokoh utama Jaringan Damai Papua, peristiwa kekerasan antar komunitas di Timika itu bukan hal baru. Ini hanya semacam pengulangan dari yang sudah-sudah tetapi aktor mungkin berbeda-beda. “Orang-orang yang terlibat mungkin juga sudah mengalami kekerasan antar komunitas ini dalam waktu yang lama,” ungkap Pater Neles kepada wartawan di STFT Fajar Timur, Jayapura, Kamis (13/3).
    Karena sudah berlangsung lama, menurut Pater Neles, seharusnya pihak-pihak yang terkait konflik ini berpikir bagaimana menghentikan kekerasan yang sedang terjadi dan berpikir juga tentang bagaimana cara mencegah agar kekerasan seperti ini tidak terjadi di masa depan.
    “Nah, korban sekarang ini bukan hanya dari pihak masyarakat tetapi juga dari pihak aparat keamanan. Mungkin nanti, warga sipil yang tidak ada hubungannya dengan perang ini juga menjadi korban lagi,” kata Pater Neles lagi.
    Pater Neles berharap PemdaMimika segera mengambil inisitif untuk mengundang pihak-pihak terkait dalam hal ini suku-suku yang sedang bertikai untuk duduk dan berbicara lalu bersepakat untuk mengakhiri perang ini. Juga tokoh agama, tokoh masyarakat dan tokoh adat. Dengan adanya perang ini orang tidak akan pernah hidup aman dan nyaman. (Jubi/Mawel)

Keluarga Korban Kecelakaan Tetap Tuntut Rp1,5 Miliar


Kapolres Pertemuan dengan Keluarga Korban Kecelakaan

Kapolres Jayapura, AKBP Sondang Siagian, S.IkSENTANI - Mediasi antara pihak keluarga korban dengan keluarga pelaku yang mengalami kebuntuan saat dilaksanakan di Satlantas Polres Jayapura, akhirnya Kapolres Jayapura, AKBP Sondang Siagian, S.Ik.,  turun  tangan melakukan pertemuan dengan pihak keluarga korban kecelakaan lalu lintas (Lakalantas), yakni Kotoran Kogoya (29) di Kampung Sereh, Kabupaten Jayapura, Kamis (13/3) kemarin pagi.
Kapolres Jayapura, AKBP Sondang Siagian, S.Ik., mengatakan, pertemuan ini dilakukan dalam rangka mencari solusi dan titik terang terkait dengan terlindasnya korban tersebut.
“Tadi (kemarin) telah kita lakukan pertemuan dari dua kelompok, yakni kelompok bermarga Kogoya dan kelompok bermarga Tabuni maupun Wenda. Di mana, sebenarnya mereka ini masih satu keluarga. Akan tetapi, dalam proses perjalanan mediasi terjadi perselisihan diantara mereka karena ada isu-isu atau informasi-informasi yang salah didengar yang memicu ketidakpuasan dari kelompok Kogoya, sehingga mendatangi kepala suku Eli Bagros Tabuni,” jelasnya.
Dikatakan Kapolres Sondang demikian sapaan akrabnya, bahwa dari permasalahan itu akhirnya dari pihaknya memediasikan untuk dilakukan pembicaraan agar kedua kelompok itu tidak terjadi keributan.

“Ya, sekarang ini ada dua masalah. Pertama, masalah karena perselisihan antara dua kelompok itu dan kedua adalah masalah kasus terlindasnya korban. Nah, kita fokus tadi (kemarin) yang itu, yakni penyelesaian agar tidak adanya konflik vertikal antara kedua kelompok tersebut yang sama-sama saling mencurigai,” jelasnya lagi panjang lebar.
Dikatakannya, bahwa pertemuan itu di Kampung yang juga dihadiri Wakil Bupati Jayapura dan pihak tokoh agama untuk menjadi mediator.
“Kita mediasikan di Kampung Sereh, dan saya juga minta Wakil Bupati Jayapura dan tokoh agama diwakili pak Petrus sebagai mediatornya untuk menyelesaikan masalah. Yang mana, dari kedua kelompok juga saling ketemu dan mereka langsung mencurahkan segala informasi-informasi yang didapat hingga membuat keributan diantara mereka sendiri,” imbuhnya.
Dalam pembicaraan adat itu, Kapolres Sondang menjelaskan, akhirnya dua kelompok itu sudah bisa saling mengerti bahwa isu-isu atau informasi-informasi itu tidak benar mengenai siapa yang akan menyelesaikan masalah dan pihak siapa yang menghalang-halangi untuk penyelesaian masalah terlindasnya korban.
“Di mana, dalam pertemuan itu mereka bersepakat untuk berdamai dan juga mengakhiri keributan diantara mereka. Sementara permasalahan terlindasnya korban tetap kita tangani dan penyelesaian akan diulang kembali. Jadi, besok (hari ini) ada mediasi ulang dari pihak keluarga sopir dengan keluarga korban yang diwakili kelompok Tabuni, Kogoya serta Wenda. Sehingga diantara mereka tidak lagi rasa curiga dan semuanya sudah satu suara,” ungkapnya.
Lanjutnya, kalau soal tuntutan dari keluarga korban itu tetap sebesar Rp1,5 miliar, tapi tentunya akan dibicarakan melihat dari pada kemampuan pihak keluarga pelaku. “Sementara kasusnya kita tetap tangani dan pelaku juga sudah kami amankan untuk proses hukum. Nah, mediasi itu nantinya sebagai lampiran sebagai pertimbangan hakim untuk bisa meringankan hukuman pelaku,” ujarnya. (mir/don/l03)

Dari Yogyakarta: Mengenang Abang Muridan S.W

Oleh: Pares L.Wenda
Pada tanggal 27 January saya mengunjungi Gramedia Yogyakarta Jalan Sudirman, saya menuju lantai 3 tempat penjualan buku-buku. Di depan tangga lantai 3 ada sejumlah buku baru yang ditaru di sana, jadi saya menelusuri bagian itu, ada cover book yang tidak asing lagi bagi saya, karena buku baru abang Muridan itu covernya hampir sama dengan bukunya Rosmaida Sinaga, hasil disertasi yang disulap jadi buku dengan judul Masa Kuasa Belanda Papua (1898 -1962) kebetulan buku ini sudah saya beli di Jayapura dan sempat saya bawah sebagai bahan bacaan harian saya di waktu segang sewaktu menyelesaikan tesis S2 saya di UGM, buku ini juga oleh penulis memberikan penghargaan kepada Abang Muridan untuk menuliskan kata pengantar, jadi dalam alam pikiran saya ini mungkin bukunya Sinaga, ternyata bukan, ini buku baru Abang Muridan judulnya Pemberontakan Nuku Persekutuan Lintas Budaya Maluku-Papua (1780-1810). Kedua buku ini diterbitkan oleh Komunitas Bambu, ada banyak buku tentang Papua yang diterbitkan oleh KB (Komunitas Bambu) misalnya Hebo Papua karangan Amirudin al Rahab (2009),dan lainnya. Saya melihat harga sekitar Rp.100 ribu lebih,- sehingga saya berniat beli tetapi saya urungkan niat saya, dalam hati saya katakan “nanti ada duit aku datang beli satu”.

Setelah mendapat SMS dari sdr.Ngura Suryawan bahwa Abang Muridan meninggal, rupanya dia juga dapat SMS dari Manokwari. Saya masih kurang percaya, tetapi pada 6 Maret saya dapat BBM dari Abang Yusman sehingga saya segera BBM Abang Yusman, Abang memastikan bahwa itu benar. Dalam diding saya di fb saya menulis “Pares Wenda Aiii, saya dan keluarga secara pribadi turut berduka sangat mendalam. Rupanya perjumpaan di Hotel Hyatt di Yogjakarta adalah perjumpaan terakhir, semoga perjuangan menuju dialog damai Papua akan terwujud di masa depan dan Engkau akan menyaksikan dari seberang sana ketika anak bangsa Papua dan anak bangsa Indonesia duduk sejajar dalam satu meja perudingan damai, bukan karena musuh tetapi demi perdamaian abadi yang abang Muridan Widjojo Perjuangkan demi masa depan Indonesia dan Papua yang lebih baik dari hari kemarin, dan hari ini. (7 Maret 2014).

Kebali carita buku tentang karya Muridan, pada 8 Maret 2014 saya memutuskan untuk membeli buku karya abang Muridan, untuk melepas kangen dan sebagai ungkapan duka mendalam saya atas kepergiannya. Saya pergi ke Toko buku Gramedia Yogyakarta, saya bermaksud mencari buku karangan Abang Muridan, saya cek di tempat yang sama ketika tanggal 27 January saya lihat, ternyata buku itu sudah laku habis.

Saya pergi ke rak buku “social dan politik” ternyata buku yang ada hanya karangan Sinaga itupun hanya ada dua stok mungkin sudah laku habis juga. Saya menelusuri rak buku “social politik” ternyata buku karya Muridan telah lakuk habis.

Tetapi ada dua mahasiswa/I kelihatannya mereka pasangan yang sedang berpacaran mereka berdua berjalan cari buku-buku politik, mereka duduk di tempat buku karangan Sinaga, mereka tidak mengambil buku Sinaga karena tertutup plastic, tetapi mereka rupanya temukan buku yang saya cari, lalu mahasiswi itu serius bolak balik judul buku itu seakan memberitahukan kepada saya bahwa buku yang kau cari itu ada ini.

Saya dalam hati berharap sekali perempuan itu tidak membeli buku itu, rupanya buku itu satu-satunya yang ditinggalkan pembeli karena tidak diplastikan, gramedia sengaja menyisakan 1 buku seperti itu untuk tujuan agar konsumen bisa melihat isinya dan kalau-kalau mereka tertarik untuk membelinya. Perempuan itu mungkin berniat juga tetapi dia tidak ambil karena memang bukunya sudah mulai kotor akibat banyak tangan menjama buku tersebut, lantas dua anak muda itu pergi mencari buku yang lain dan saya langsung menuju buku itu dan mengambilnya.
Saya telusuri ke dalamnya siapa tahu ada yang baru dalam plastic, ternyata sama sekali tidak ada, lalau mendekati Mas Puji Winarko, karyawan toko buku gramedia kebetulan dia sedang ada rapihkan buku-buku disekitar itu, saya katakana “mas sing buku ini ono ta” mas Puji bilang sama saya, mas saya coba carikan ke gudang, ternyata di gudang tidak ada, dia coba cari di sejumlah blok siapa tahu ada, ternyata sama sekali tidak ada, mas Puji bilang hanya itu yang tersisa,”. Saya bilang sama mas Puji, mas ini penulisnya abang saya, dia baru saja meninggal kemarin, ini mungkin buku dia yang terakhir sehingga saya datang cari untuk membeli buku ini. Saya katakan lagi kepadanya,”mas mungkin sudah habis, tetapi ini mungkin Abang Muridan bawah untuk kasih aku saat ini, karena dari rumah memang saya datang untuk mencari buku ini”. Satu keajaiban, memiliki buku karangan Abang Muridan dengan judul,” Pemberontakan Nuku Persekutuan Lintas Budaya Maluku-Papua sekitar (1780-1810) pada 8 Maret 2014.

Sepenuhnya dari buku ini, memang belum saya baca tetapi saya membaca pengantar dan saya mengetahui dua hal dari buku ini. Pertama bahwa buku ini adalah hasil disertasi doctoral pada Universitas Leiden di Belanda pada 2007 silam. Dan buku ini sebelum di uji 12 September 2007 pada 11 September 2007 sudah dipublikasikan melalui media Nasional NRC Handelsblad sebagai berita headline. Dan pada tahun 2009 buku disertasi Muridan diterbitkan dalam bahasa Inggris penerbit “Brill” (www.brill.com), penerbit Belanda yang sudah berumur 3 abad. Secara internasional buku ini dijual seharga  atau setara dengan Rp.1.131.000,-. Itu artinya buku ini sudah memberikan kontribusi dalam dunia pengetahuan yang sungguh luar biasa. Kedua, buku ini dari pengantar yang ditulis oleh Muridan menunjukan bahwa Pangeran Nuku dari Kesultanan Ternate dan Tidore melakukan perlawanan dengan Belanda, dan rupanya Pangeran Nuku bekerja sama dengan sekutunya dari beberapa daerah termasuk dari Papua terutama dari Raja Ampat dan di Fak-Fak dan bekerja sama dengan Inggris mengalakan pasukan Belanda yang memang kerjasama dengan orang pribumi yang menjadi kaki tangan Belanda, bahkan untuk melawan pasukan Nuku tentara-tentara pribumi khususnya dari Batavia juga didatangkan. Tetapi rupanya Pengeran Nukun bisa memenangkan perang melawan Belanda.

Dari pengantarnya bukunya ini, Muridan memberikan dorongan kepada sejarawan Indonesia supaya dapat melakukan dokumentasi sejarah perjalanan Bangsa Indonesia dalam konteks Indonesia. Tetapi jugi dia memuji beberapa Kabupaten di Maluku khususnya  Kab.Halmahera Tengah dan Papua Barat di Kab. Kaimana sudah mulai membuat buku sejarah daerah mereka masing-masing khususnya dalam mengangkat identitas masyarakat adat setempat dalam kekayaan membangun bangsa. Muridan sebagai Peneliti Papua dan Maluku saya kira proyek-proyek tersebut adalah atas prakarsanya, tetapi juga edisi bahasa Indonesia dari buku ini diakuinya bahwa  dorongan penerbitan dalam bahasa Indonesia atas dukungan Pemda Maluku Utara, Peneribt:Komunitas Bambu dan tentu saja penerjamah.

Tentu buku ini memberi inspirasi bagi kami yang kutu buku, tetapi juga demi pembangunan bangsa dan Negara terutama memberikan sipirit penulis-penulis muda Papua untuk melirik daerah masing-masing untuk menulis. Pesan Muridan jelas, yaitu membangun identitas dan perdaban baru dalam dunia tulis menulis sebagai warisan kepada anak cucu, tentu juga berpesan kepada kita agar kita membudayakan menulis sehingga seketika kita tiada, ada sesuatu yang kita tinggalkan, melalui tulisan seperti yang telah dikaryakan untuk masa depan Papua dan Maluku. Mungkin kita membutuhkan seorang antropolok seperti ini dalam 20 sampai 30 tahun yang akan datang lagi.

Selamat jalan Abang, selain buku ini, karya abang untuk Papua menuju Papua Damai melalui jaringan damai Papua, semua yang mengenal engkau merasa kehilangan, tetapi mungkin saya ingin meminjam pernyataan Barnabas Suebu kalau semua yang ada padamu hilang, masih ada tersisa yaitu masa depan”, masa depan bersama sesautu yang abang tinggalkan seperti buku yang dibahasa disini, Papua Road Map dan sejumlah buku lainnya akan mengutip setiap orang ketika membahas masalah Papua. Empat masalah yang menjadi akar soal Papua engkau sudah letakannya itulah pijakan untuk memulai penyelesaian masalah Papua.


Mungkin kami merasa pincang, atau tangan kami merasa terputus antara Jakarta dan Papua dalam mendorong gagasan dialog Jakarta-Papua, tetapi spirit dan semangat sampai titik denyut penghabisan, itu akan selalu menjadi kekuatan baru dalam upaya membangun Papua Baru. Diakhir tulisan ini, ingin saya letakan kalimat dari dinding facebook saya: semoga perjuangan menuju dialog damai Papua akan terwujud di masa depan dan Engkau akan menyaksikan dari seberang sana ketika anak bangsa Papua dan anak bangsa Indonesia duduk sejajar dalam satu meja perudingan damai, bukan karena musuh tetapi demi perdamaian abadi yang abang Muridan Widjojo Perjuangkan demi masa depan Indonesia dan Papua yang lebih baik dari hari kemarin, dan hari ini.” (Penulis adalah anggota JDP).

THE HLS OF THE 25 SESSION OF THE HUMAN RIGHT COUNCIL : A STATEMENT BY PRIME MINISTER OF THE REPUBLIC OF VANUATU ON HUMAN RIGHT IN WEST PAPUA


PRIME MINISTER OF THE REPUBLIC OF VANUATU (Jubi)
THE REPUBLIC OF VANUATU
Statement by
THE RIGHT HONOURABLE MOANA KATOKAI KALOSIL
PRIME MINISTER OF THE REPUBLIC OF VANUATU
BEFORE
THE HIGH LEVEL SEGMENT OF THE 25 SESSION OF THE HUMAN RIGHT COUNCIL
GENEVA, SWITSERLAND
4th MARCH 2014
H.E. President of the Human Rights Council
H.E. Secretary General of the United Nations, Mr. Bani Ki Moon
Excellencies
Distinguished Delegates
Ladies and Gentlemen
The Republic of Vanuatu is very pleased to be addressing this meeting today.
I have come here to join the leaders of the world to discuss and raise concerns on different human rights challenges affecting millions of innocent citizens across the entire globe, from the island countries and in countries across continents.
Mr. President, the focus of my statement here today will be on two important but very highly critical issues to the entire population of my country. First I want to focus on the rights of our indigenous people to practice their cultural and spiritual rituals in the two of our islands in the Tafea Province, South of Vanuatu. And Secondly, I will bring to the forefront or our debate some of the issues regarding human rights abuses in West Papua that have been very disturbing to the community of democraties around the world.
Mr. President, my country’s struggle to achieve political independence in 1980 was marked with incidences of social protests and emergence of some political movements within our country. We were Melanesians being governed by Britain and France in our own motherland. Prior to 1980, we were stateless in our country and we were neither French of British citizens. And for almost 4 decades, we were exposed to foreign rule. So we had to struggle to construct our identity as free people to live in dignity. Independence was our objective. And this was a compelling thrive that motivated our leaders to achieve nothing less than political independence.
We did not fight for independence because we were economically and financially ready. We did not fight for independence because our colonial masters were killing our people. No. We fought for our political independence because it is our God given right to be free. Freedom was our inalienable right. It is a human right. And Vanuatu was proclaimed independent on 30 July 1980.
Thirty three years after our independence I am delighted to say that France has begun to demonstrate its willingness four our indigenous people to visit two of our very sacred islands, Umaepnune (Mathew) and Leka (Hunter) in the southern part of our country to fulfil their cultural and spiritual obligations. Rituals and ceremonies have continued to be held on other islands of the Tafea province annually despite the blockage previously imposed by the French authority for our tribesmen to travel to the sacred islands Umaepnune and Leka islands to fulfil their cultural and spiritual duties.
Mr. President, I want to now focus my attention on the chronic human rights challenges that has affected the indigenous Melanesian peoples of West Papua since 1969. And I do this with great respect and humility.
My country is here in this meeting to amplify the concerns for human rights in West Papua. We are very concerned indeed about the manner in which the international community had neglected the voices of the Papuan people, who’s human rights have been trampled upon and severely suppressed since 1969.
Mr. President, you are presiding over the noblest organ of the United Nations- the Human Rights Council. But what do we do when rights of the Melanesian people of West Papua is challenged with military interventions and presence? Since the controversial Act of Free Choice in 1969, the Melanesian People of West Papua have been subject to on-going human rights violations committed by the Indonesian security services. The world has witnessed the litany of tortures, murders, exploitation, rapes, military raids, arbitrary arrests and dividing of civil society trough intelligence operations. The Indonesian National Commission on Human Rights (KOMNAS HAM) concluded that these acts constitute crimes against humanity under Indonesian Law No. 26/2000 (KOMNAS HAM 2001,2004).
In this climate of fear and repression of political dissent, and blatant negligence by the international Community including the UN and the powerful developed countries since 1969, we find this forgotten race still dare to dream for equality and justice. Yet the democratic nations have kept silent.
Mr. President, as a Melanesian citizen, I have come here to call for immediate action. Injustice in West Papua is a threat to the principle of justice everywhere in the world. I do not sleep well at night when I know that in 2010 Yawan Wayeni, known as a separatist was videotaped by the security forces as he was lying in a pool of his own blood with his intestines seeping from a gaping wound in his abdomen. It concerns me that in October 2010 Telenga Gire and Anggen Pugu Kiwo were tied by the military and were severely tortured. It concerns me when I see the video footage of a group of Papuan men bounded and being kicked in the head by uniformed soldiers who are meant to protect them. I am worried because between October of 2011 and March 2013, 25 Papuans were murdered and nothing has been done to bring perpetrators to justice. And it embarrasses me. As a Melanesian, to note that roughly the Indonesian Security forces have killed 10 % of the indigenous Melanesian populations since 1963. While I acknowledge the 15 years of reformation that has taken place, I am also worried that Melanesians will soon become a minority in their own motherland of Papua.
Mr. President, in a world so now closely connected with innovative technology, there should be no excuses about lack of information on human rights violations that have plagued the Papuan people for more than 45 years. Search the Internet and research papers by academic institutions and international NGO’s and you will find raw facts portraying the brutal abuse of the rights of the Melanesian people in Papua. But why are we not discussing it in this counsel? Why are we turning a blind eye to them and closing our ears to the lone voices of the Papuan people, many of whom have shed innocent blood because they want justice and freedom. Many are martyrs that have been persecuted and brutally murdered because the carry the unspoken voices of the millions now living in fear in the valleys and lofty mountains of Papua. They are demanding recognition and equality and a respect for their human rights and to live in peace. Will this august council hear their cries and now go forward to protect their human rights and put right all wrong of the past?
I have listened attentively to the voice of a former Civil Servant Mr. Filep Karma and student Yusak Pakage who were sentenced to 15 and 10 years in prison and speaking from behind bars, calling on our countries in the Pacific to speak out against the injustice against them. These are the children of the warriors who have stood firm to fight during the Second World War in the Pacific and who helped bring peace and security in our part of the world. It is now our duty to bring peace to their tribal villages and communities by affording them their basic human rights that most of us here take for granted.
I am very encouraged that the matter has now reached the European Union Committee on Human Rights and we look forward for some actions to improve the human rights conditions of our brothers and sisters in Papua. I further call on the Governments of the developed countries including the African nations and the island countries of the Caribbean and the Pacific to condemn the issue of human rights violations. I want to echo the words of Martin Luther King Jr., who said in his speech in 1963 that, “nothing in the world is more dangerous than sincere ignorance and conscientious stupidity.” We the democratic nations must not ignore the cries of the Papuan people.
Mr. President, the concerns we are raising here is more than a question of keeping 70 % of the wealth from oil and gas in West Papua, it is the question of political status. The concerns we are raising here, is more than the question of economic status were 80 % of wealth from Forestry, Fisheries and general mining are kept in Papua. It is a question of the respect of the human rights and existence of the Melanesian people. Our concern is not to see how much a golden spoon has fed them, but to see the measure of respect for freedom accorded to the Papuans as equal citizens. And to what degree the civil society are given the right to express concerns about the quality of governance in their motherland. For this should be a measure of a vibrant democracy.
Mr. President, access must be allowed for the UN human rights monitor, international journalists and international human rights NGO’s to visit West Papua.
It is clear from many historical records that the Melanesian people of West Papua were the scapegoat of Cold war politics and were sacrificed to gratify the appetite for the natural resources which this country possess.  Mr. President, if the UN Representative, Mr. Ortiz Sanz had described the West Papuan issue as a cancer growing “on the side of the and that his job was to remove it”, it is very clear today from what we have seen that this cancer was never removed but simply concealed. One day, this cancer will be diagnosed. We must not be afraid if the UN had made some mistakes in the past. We must admit our mistakes and correct them.
Mr. President, as I close, my government believes that human rights challenges of Papua must be brought back to the agenda of the United Nations. I call on the Human rights Council to consider adopting a resolution to establish a country mandate on the situation of human rights in West Papua. The mandate should include investigation of the alleged human rights violation in West Papua and provide recommendations on a peaceful political solution in West Papua. This will help to assist in supporting H.E. President Yudhoyono’s pledge to hold dialogue with Papua.
Thank you once again for the opportunity to express my views in this forum.
Long God Yumi Stanap. In God we stand. Thank you.
(Jubi)

PIDATO PM VANUATU DI HADAPAN SIDANG HAM PBB 25 : 10 PERSEN POPULASI PAPUA TELAH DIBUNUH OLEH TENTARA INDONESIA

Admin Jubi
  • Victor Mambor
Description: Moana Carcasses Katokai Kalosil menyampaikan pidatonya dihadapan sidang Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke 25 (IST)
Moana Carcasses Katokai Kalosil menyampaikan pidatonya dihadapan sidang Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke 25 (IST)
Jayapura, 5/3 (Jubi) – Selasa, 4 Maret 2014, pukul 12.15 waktu Jenewa, Perdana Mentri Vanuatu, Moana Carcasses Katokai Kalosil menyampaikan pidatonya dihadapan sidang Hak Asasi Manusia (HAM) Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB) ke 25. Dihadapan para pemimpin negara-negara anggota PBB ini, Moana menyampaikan keprihatinan tentang situasi yang dialami rakyat Melanesia di Papua. Moana juga mempertanyakan komitmen dalam sidang HAM PBB yang dari tahun ke tahun seakan buta dan tuli terhadap masalah Orang Asli Papua. Di akhir pidatonya, Moana menegaskan komitmen pemerintahannya untuk terus memperjuangkan hak-hak dasar bangsa Papua di atas tanahnya sendiri.
Pidato PM Vanuatu ini bisa disaksikan di laman UN Web TV.
Berikut transkrip pidato PM Vanuatu yang diterjemahkan oleh Jubi. Transkrip berbahasa Inggris bisa diakses di laman West Papua Daily
———-
REPUBLIK VANUATU
Pidato oleh
YANG MULIA MOANA CARCASSES KATOKAI KALOSIL
PERDANA MENTERI REPUBLIK VANUATU
DI HADAPAN SIDANG TINGKAT TINGGI DEWAN HAK ASASI MANUSIA PERSERIKATAN BANGSA-BANGSA YANG KEDUA PULUH LIMA
JENEWA, SWISS
4 MARET 2014
Tuan Ketua Sidang Dewan Hak Asasi Manusia PBB
Tuan Sekretaris Jendral PBB, Ban Ki Moon
Delegasi-delegasi yang terhormat
Tuan-tuan dan nyonya-nyonya,
Republik Vanuatu amat bersyukur untuk dapat menyampaikan pidato pada pertemuan hari ini.
Saya datang kemari untuk bergabung dengan para pemimpin dunia guna membahas dan mengangkat keprihatinan mengenai tantangan hak asasi manusia yang berbeda-beda yang melanda jutaan warganegara tak berdosa di seluruh penjuru dunia, mulai dari negara-negara kepulauan dan di dalam negara-negara di semua benua.
Tuan Ketua, fokus dari pidato saya di sini dan hari ini terdiri dari dua hal penting tapi menyangkut masalah-masalah yang amat penting bagi seluruh penduduk negara saya. Pertama, saya hendak memusatkan perhatian atas hak masyarakat adat untuk mempraktikan ritual adat dan spiritual mereka di dua pulau kami di Provinsi Tafea, Selatan Vanuatu. Dan kedua, saya akan memaparkan kepada sidang sebagian masalah yang berkaitan dengan pelanggaran hak asasi manusia di Papua yang telah mencapai tingkat yang sangat meresahkan bagi masyarakat demokratis di seluruh dunia.
Tuan Ketua, perjuangan negara saya untuk meraih kemerdekaan politis di tahun 1980 ditandai dengan berbagai aksi protes sosial dan munculnya berbagai gerakan politis di negara kami. Kami bangsa Melanesia diperintah oleh Inggris dan Perancis di tanah kami sendiri. Sebelum tahun 1980 kami tidak memiliki status negara di negeri kami dan kami juga bukan warganegara Perancis atau Inggris. Selama 3 empat dasawarsa, kami dibenturkan dengan aturan asing. Dengan demikian kami harus berjuang untuk membentuk identitas sebagai bangsa merdeka yang hidup di negeri kami secara bermartabat. Kemerdekaan adalah tujuan kami. Ini adalah dorongan kuat yang menggerakan para pemimpin kami untuk meraih sesuatu yang tidak lebih kurang dari kemerdekaan politis. Kami tidak berjuang untuk kemerdekaan karena secara keuangan dan ekonomi kami sudah siap. Kami tidak berjuang untuk kemerdekaan karena tuan-tuan penjajah membunuh bangsa kami. Tidak. Kami berjuang untuk kemerdekaan politis karena Tuhan kami telah memberikan hak untuk bebas. Kebebasan adalah hak yang tidak tergadaikan. Itu adalah hak asasi manusia. Dan Vanuatu dinyatakan merdeka pada 30 Juli 1980.
Tiga puluh tiga tahun sesudah kami merdeka, saya senang untuk menyatakan bahwa Perancis telah mulai menunjukkan niat baiknya kepada masyarakat adat kami yang pergi mengunjungi dua dari pulau-pulau yang amat sakral, Umaepnune (Matthew) dan Leka (Hunter) di bagian Selatan negeri kami guna memenuhi kewajiban adat dan spiritual mereka. Ritual dan upacara-upacara adat terus dilangsungkan di pulau-pulau lain di Provinsi Tafea setiap tahunnya meski sebelumnya ada pelarangan yang diterapkan oleh Pemerintah Perancis terhadap masyarakat adat kami untuk bepergian ke Pulau-pulau suci Umaepnune dan Leka guna memenuhi kewajiban adat dan kultural mereka.
Tuan Ketua, sekarang saya ingin membahas tantangan-tantangan hak asasi manusia yang sudah bersifat kronis dan telah berdampak serius bagi masyarakat adat Melanesia di Tanah Papua sejak 1969. Dan saya berbuat ini dengan penuh rasa hormat dan kerendahan hati.
Negara saya dalam forum ini hendak menggemakan apa yang menjadi keprihatinan atas situasi hak asasi manusia di Tanah Papua. Kami sangat prihatin tentang cara dan sikap komunitas internasional yang mengabaikan suara orang Papua, yang hak asasinya telah diinjak-injak dan secara keras ditekan sejak tahun 1969.
Tuan Ketua, Anda memimpin sidang dalam organ PBB yang paling mulia: Dewan HAM PBB. Tetapi apa yang kita buat saat hak-hak bangsa Melanesia di Tanah Papua ditindas oleh campur tangan dan kehadiran militer? Sejak Pepera tahun 1969 yang bersifat kontroversial itu, Bangsa Melanesia di Papua telah menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi yang dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia. Dunia telah menyaksikan litani penyiksaan, pembunuhan, perampasan, perkosaan, penyerbuan militer, penangkapan sewenang-wenang dan perpecahan masyarakat sipil akibat operasi intelijen. Komnas HAM telah menyimpulkan bahwa tindakan-tindakan tersebut tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan menurut UU no. 26/2000 (KOMNAS HAM 2001, 2004).
Dalam suasana ketakutan dan penindasan protes politik, dan pengabaian masyarakat internasional secara terang-terangan termasuk PBB dan negara-negara berkuasa sejak 1969, senjatanya ras yang terlupakan ini masih berani mendambakan persamaan dan keadilan. Namun demikian negara-negara demokratis tetap bungkam seribu bahasa.
Tuan Ketua, sebagai warga Melanesia, saya datang kemari untuk menyerukan adanya tindakan segera. Ketidakadilan di Tanah Papua adalah ancaman atas prinsip keadilan dimanapun di dunia. Saya tidak tidur ketika saya tahu bahwa di tahun 2010 Yawan Wayeni, yang dikenal sebagai seorang pemberontak direkam oleh aparat keamanan saat rebah di pinggir kolam bersimbah darah dengan usus memburai dari perutnya. Saya prihatin ketika di tahun 2010 Telengga Gire dan Anggen Pugu Kiwo diikat oleh TNI dan secara keji disiksa. Sungguh-sungguh memprihatikan saat saya melihat tayangan video saat sekelompok laki-laki Papua diikat dan ditendang oleh para prajurit TNI tak berseragam yang seharusnya melindungi mereka. Saya gelisah karena antara Maret 2011 dan Oktober 2013, 25 orang Papua telah dibunuh dan tidak ada tindakan untuk membawa pelaku ke meja hijau. Sungguh memalukan bagi saya, warga Melanesia, saat mengetahui bahwa sekitar 10% dari populasi Papua telah dibunuh oleh tentara Indonesia sejak 1963. Meski 15 tahun proses reformasi Indonesia telah berlangsung, saya juga cemas bahwa bangsa Melanesia akan segera menjadi kaum minoritas di tanah mereka sendiri.
Tuan Ketua, dalam dunia yang kini begitu erat terhubung dengan teknologi baru, seharusnya tidak ada lagi dalih mengenai kurangnya informasi mengenai situasi hak asasi manusia yang menimpa orang Papua selama lebih dari 45 tahun. Carilah di internet dan riset kalangan akademisi dan LSM-LSM internasional, dan Anda akan menemukan fakta-fakta dasar yang menggambarkan pelanggaran hak-hak orang Melanesia di Papua secara brutal. Tetapi mengapa kita tidak membahasnya dalam Sidang ini? Mengapa kita memalingkan muka dari mereka dan menutup telinga kita terhadap suara-suara sepi orang Papua, yang banyak di antaranya telah menumpahkan darah demi keadilan dan kebebasan yang mereka dambakan. Banyak yang menjadi martir yang telah dianiaya dan dibunuh secara keji karena mereka menyuarakan suara-suara yang tak terucapkan dari jutaan manusia yang kini hidup dalam ketakutan di lembah-lembah dan puncak-puncak gunung di Papua. Mereka menuntut pengakuan dan persamaan hak serta penghormatan atas hak-hak asasi manusia mereka dan hak untuk hidup secara damai. Akankah sidang Agustus nanti mendengarkan rintihan mereka dan ambil langkah untuk melindungi hak-hak asasi mereka dan mengakhiri segala kesalahan masa lalu itu?
Saya telah mendengarkan dengan seksama suara seorang mantan PNS Tuan Filep Karma dan mahasiswa Yusak Pakage yang masing-masing divonis penjara 15 dan 10 tahun. Mereka berseru dari balik terali besi dan menyerukan agar negara-negara di Pasifik bersuara menentang ketidakadilan yang menimpa mereka. Kami ini anak-anak pejuang yang gigih berjuang selama Perang Dunia II di Pasifik dan yang telah berhasil membawa damai dan keamanan di belahan bumi Pasifik. Kini saatnya kami berkewajiban untuk membawa damai bagi kampung-kampung dan masyarakat-masyarakat adat Papua dengan memperjuangkan hak-hak dasar mereka yang bagi sebagian terbesar dari kita di sini telah kita terima begitu saja secara cuma-cuma.
Saya sungguh merasa bersemangat karena perkara ini sekarang telah sampai di meja Komite Hak Asasi Manusia Parlemen Eropa dan kami berharap ada tindakan-tindakan nyata untuk memperbaiki kondisi hak asasi manusia bagi saudara dan saudari kami di Papua. Selanjutnya saya menyerukan kepada pemerintah negara-negara maju, khususnya negara-negara Afrika dan negara kepulauan Karibia dan Pasifik agar mengutuk tindakan pelanggaran hak asasi manusia ini. Saya ingin menyuarakan kembali kata-kata Martin Luther King Jr., yang mengatakan dalam pidatonya di tahun 1963 bahwa, “tidak ada hal di dunia ini yang lebih berbahaya daripada sikap pengabaian yang polos dan ketololan yang disengaja.” Kita negara-negara demokratis tidak boleh mengabaikan perang kesakitan bangsa Papua.
Tuan Ketua, keprihatinan yang kami angkat ini lebih daripada sekedar perkara menjaga 70% kekayaan minyak dan gas di Papua. Ini adalah perkara status politis. Keprihatinan kami di sini lebih daripada sekedar perkara ekonomis dimana 80% kekayaan hutan, laut dan tambang tetap menjadi milik Papua. Ini adalah perkara penghormatan atas hak asasi dan eksistensi bangsa Melanesia. Perhatian kami tidak menyangkut berapa banyak mereka disuap dengan sendok emas, melainkan seberapa jauh mereka dihargai hak-haknya sebagai sesama warganegara. Dan sejauh mana masyarakat sipil diberi hak untuk menyampaikan pendapat mengenai mutu pemerintahan di tanah mereka sendiri karena inilah yang menjadi ukuran suatu demokrasi yang hidup dan berkembang.
Tuan Ketua, akses harus diberikan kepada ahli-ahli hak asasi manusia PBB, wartawan internasional and LSM internasional untuk mengunjungi Papua.
Dari berbagai sumber sejarah telah nyatalah bahwa bangsa Melanesia di Papua adalah kambing hitam perang dingin dan menjadi tumbal untuk memenuhi selera akan kekayaan sumber alam yang dimiliki Papua. Tuan Ketua, jika Utusan Sekjen PBB waktu itu, Tuan Ortiz Sanz telah mengibaratkan Papua sebagai kanker “dalam tubuh PBB dan tugas beliau adalah menghilangkannya,” maka dari apa yang telah kita saksikan ini amat jelaslah sekarang bahwa kanker ini tidak pernah dihilangkan tetapi sekedar ditutup-tutupi. Suatu hari, kanker ini akan didiagnosa. Kita tidak boleh takut jika PBB telah membuat kesalahan di masa lalu. Kita harus mengakui kesalahan kita dan memperbaikinya.
Tuan Ketua, sebagai penutup, pemerintahan saya berkeyakinan bahwa tantangan hak asasi manusia di Papua harus dibawa kembali ke dalam agenda PBB. Saya menyerukan agar Dewan HAM PBB mempertimbangkan untuk mensahkan resolusi mengenai keadaan hak asasi manusia di Papua. Mandat sebaiknya mencakup penyelidikan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua dan memberikan saran bagi penyelesaian politik secara damai di Papua. Hal sedemikian akan membantu upaya Presiden Yudhoyono dalam mengupayakan dialog untuk Papua.
Terimakasih sekali lagi atas kesempatan untuk menyampaikan pendapat saya dalam forum ini.
Long God Yumi Stanap. Dalam Tuhan kami berpijak. Terimakasih.
———-
(Jubi/Admin)






Sidang Dewan HAM PBB
PM Vanuatu Soroti Masalah HAM di PapuaJumat, 7 Maret 2014 | 13:34
CREATOR: gd-jpeg v1.0 (using IJG JPEG v80), quality = 100
 
Perdana Menteri Vanuatu, Moana Carcasses Katokai Kalosil [google]

 [JAYAPURA] Pidato Perdana Menteri Vanuatu, Moana Carcasses Katokai Kalosil pada Sidang Tingkat Tinggi ke 25, Dewan Hak Azasi Manusia PBB di Jenewa, Swiss, 4 Maret lalu menyorot permasalahan yang ada di Papua. 

Menanggapi pidato tersebut, Koordinator juru runding Papua, Octavianus Motte mengucapkan terimakasih atas dukungan dari pimpinan negara kepulauan di Pasifik selatan itu. “Mewakili rakyat  Papua saya ucapkan terimakasih,  terimakasih, dan perjalanan masih panjang. Kami butuh dan dukungan doa rakyat Papua,”kata Octovianus Motte, dari Swiss  dalam perbincangan  via telepon dengan  SP, Jumat (7/3) dini hari. 

Octovianus Motte terpilih sebagi juru runding di luar negeri  dalam Konferensi Perdamaian Tanah Papua (KPP) 2011 yang  diselenggarakan pada tanggal 5-7 Juli di Jayapura.  

Menurut dia,  PM Vanuatu langsung to the point dalam pidatonya.   “Kita sebagai negara-negara demokrasi tidak boleh mengabaikan suara kesakitan bangsa Papua Barat,”kata Oktovianus mengutip pernyataan PM Vanuatu. 

Kata ini  merupakan salah satu kata kata yang menarik dan menggugah dalam pidato tersebut.   Naskah pidato PM Pidato Perdana Menteri Vanuatu, Moana Carcasses Katokai Kalosil, yang diterima SP,  Jumat dini hari via surat elektronik dalam  berbahasa Inggris juga diselingi bahasa Vanuatu dikirim dari   juru runding  Papua di luar negeri yang menghadiri   Sidang Tingkat Tinggi ke 25, Dewan Hak Azasi Manusia PBB di Jenewa.   

Dalam pidato PM Vanuatu  sebanyak 5 halaman tersebut dikatakan diataranya,   persoalan hak asasi manusia yang sudah berdampak serius kepada masyarakat pribumi melanesia di Papua Barat sejak 1969. “Saya lakukan ini dengan rasa hormat dan kerendahan hati. Negara saya melalui sidang ini mau ungkapkan apa yang menjadi keprihatinan terkait situasi hak asasi manusia di Papua Barat. Kami sangat prihatin atas cara dan sikap dunia internasional yang mengabaikan keinginan orang Papua, yang hak asasinya telah diinjak-injak dan tertekan sejak tahun 1969.

”isi dari pidato tersebut   Pak Presiden, apa yang kita buat saat hak-hak bangsa Melanesia di Papua Barat tertindas atas keikutsertaan dan kehadiran militer? Sejak Pepera tahun 1969 yang kontroversial itu, Papua Barat menjadi korban pelanggaran hak asasi manusia yang terus terjadi dan dilakukan oleh aparat keamanan Indonesia.   Komisi nasional Hak Azasi Manuasi menyimpulkan bahwa tindakan itu tergolong kejahatan terhadap kemanusiaan, menurut UU Nomor: 26/2000.   

“Tuan Presiden, sebagai warga Melanesia, saya disini untuk mendorong agar segera dilakukan tindakan. Ketidakadilan di Papua Barat adalah ancaman terhadap prinsip keadilan di dunia. Saya tidak bisa tidur saat tahu bahwa di tahun 2010 Yawan Wayeni, yang dikenal sebagai seorang pemberontak, direkam oleh aparat keamanan saat terbaring tak berdaya bersimbah darah dengan usus terburai  dari perutnya. Saya prihatin pada tahun 2010,  Telengga Gire dan Anggen Pugu Kiwo diikat TNI dan disiksa secara kejam”.   

“Sungguh memprihatinkan ketika saya saksikan video sekelompok laki-laki Papua diikat dan ditendang oleh prajurit TNI tidak berseragam yang seharusnya melindungi mereka. Saya merasa gelisah karena antara Maret 2011 hingga Oktober 2013, terdapat 25 orang Papua Barat dibunuh, dan tanpa tindakan untuk membawa pelakunya ke pengadilan. Teramat memalukan bagi saya sebagai warga Melanesia, mengetahui sekitar 10 persen dari populasi orang Papua Barat telah dibunuh oleh aparat Indonesia sejak 1963. Walaupun proses reformasi di Indonesia sudah berlangsung 15 tahun, tetapi mencemaskan karena bangsa Melanesia segera menjadi kaum minoritas di tanah mereka sendiri,”ujarnya.   

Tuan Presiden, seluruh dunia kini dapat terhubung dengan teknologi baru, harusnya tidak ada lagi alasan kurangnya informasi terkait situasi hak asasi manusia yang dialami orang Papua Barat selama lebih dari 45 tahun.   Melalui internet dan riset kaum akademisi dan LSM-LSM internasional, anda akan temukan fakta dasar yang menunjukkan pelanggaran hak-hak orang Melanesia di Papua Barat secara brutal. Tapi kenapa kita tidak membahasnya di Sidang ini? kenapa kita palingkan muka dari mereka dan menutup telinga kita dari suara-suara orang Papua yang kebanyakan telah menumpahkan darah demi keadilan dan kebebasan yang mereka dambakan.   

“Saya bersemangat karena persoalan ini sekarang sampai di Komite Hak Asasi Manusia Parlemen Eropa, dan kami berharap tindakan-tindakan nyata untuk memperbaiki kondisi hak asasi manusia bagi saudara dan saudari kami di Papua Barat. Selanjutnya saya menyerukan pemerintah negara-negara maju, khususnya negara-negara Afrika dan negara di Kepulauan Karibia dan Pasifik agar mengutuk keras tindakan pelanggaran hak asasi manusia ini. Saya mau suarakan lagi kata-kata Martin Luther King Jr., dalam pidatonya tahun 1963 bahwa, “Tidak ada hal di dunia ini yang lebih berbahaya daripada sikap pengabaian yang polos dan ketololan yang disengaja”. Kita sebagai negara-negara demokrasi tidak boleh mengabaikan suara kesakitan bangsa Papua Barat,”kata Moana Carcasses Katokai Kalosil   

"Tuan Presiden, rasa prihatin yang kami angkat ini lebih dari sekedar persoalan menjaga 70 persen kekayaan minyak dan gas di Papua Barat. Ini adalah persoalan status politis. Rasa prihatin kami ini lebih dari sekedar persoalan ekonomi, dimana 80 persen kekayaan hutan, laut dan tambang tetap menjadi milik Papua Barat. Ini adalah persoalan penghormatan atas hak asasi dan eksistensi bangsa Melanesia. Tuan Presiden, akses harus diberikan kepada pakar hak asasi manusia PBB, wartawan internasional dan LSM internasional untuk berkunjung ke Papua.   Dari berbagai sumber sejarah, jelaslah bahwa bangsa Melanesia di Papua Barat sebagai kambing hitam perang dingin dan menjadi tumbal untuk memenuhi selera kekayaan sumber alam Papua Barat. Tuan Presiden, jika utusan Sekjen PBB saat itu, Ortiz Sanz, mengibaratkan Papua Barat sebagai kanker".   

“Di tubuh PBB dan tugas dia untuk menghilangkannya, dan dari apa yang kita lihat sejauh ini, sangat jelas bahwa kanker ini tidak pernah dihilangkan, hanya ditutup-tutupi. Suatu saat, kanker ini akan didiagnosa, kita tidak perlu takut kalau PBB telah lakukan kesalahan di masa lalu, kita harus mengakui kesalahan kita dan memperbaikinya,”ujarnya.   

Tuan Ketua, sebagai penutup, pemerintahan saya yakin bahwa persoalan hak asasi manusia di Papua harus dibawa kembali dalam agenda PBB. “Saya mendorong agar Dewan HAM PBB pertimbangkan pengesahan resolusi tentang situasi hak asasi manusia di Papua Barat. Akan lebih baik bila mandat meliputi penyelidikan atas dugaan pelanggaran hak asasi manusia di Papua, dan berikan saran untuk penyelesaian politik secara damai di Papua Barat. Hal ini juga akan membantu Presiden Yudhoyono dalam mengupayakan dialog dengan Papua,”kata PM Vanuatu dalam pidatonya yang dihadiri Hadir pada kegiatan tersebut sesuai agenda yang telah dimilikinya adalah Secretary-General H.E. Mr. Ban Ki-Moon, President of Human Rights Council H.E. Mr. Baudelaire Ndong Ella, President of General Assembly H.E. Mr. John W. Ashe, High Commissioner Ms. Navi Pillay dan Host country H.E. Mr. Didier Burkhalter, President of the Swiss Confederation [154]  




Contact Us

Stats

Archive

Video Of Day

Send Quick Massage

Nama

Email *

Pesan *

Catwidget2

Catwidget4

Catwidget3

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Entri Populer

Search This Blog

Popular Posts

Entri Populer

Entri Populer

Entri Populer