JAYAPURA - Salah satu akademisi Universitas Cenderawasih (Uncen) Marinus Yaung memberikan apresiasi yang tinggi kepada 3 orang penulis buku ‘Pemilukada Gubernur Provinsi Papua Tidak Demokratis’ yang bekerjasama dengan Lembaga Intelektual Tanah Papua (LITP), karena ini merupakan sebuah pendidikan politik yang baik buat pembelajaran dan memperbaiki demokrasi di Papua kedepan.
“Saya memberikan apresiasi yang luar biasa buat teman - teman yang menulis buku tersebut. Dikarenakan pada hari ini (Jumat, 13/12 lalu) semua orang Papua yang datang menghadiri peluncuran buku itu adalah untuk memberikan pikiran yang demokrat di Tanah Papua. Buku ini jangan dianggap sebagai karya biasa saja karena dengan adanya buku itu bisa memberikan suatu pendidikan politik yang baik buat pembelajaran dan memperbaiki demokrasi di Papua ke depan,” kata Marinus Yaug yang juga merupakan dosen Hubungan Internasional FISIP Uncen kepada Bintang Papua pada saat menghadiri peluncuran buku tersebut, di Aula P3W Padang Bulan, Kelurahan Hedam, Distrik Heram, Jumat (13/12) lalu.
Marinus mengatakan, ini merupakan suatu pendidikan politik yang luar biasa dan hal ini harus menjadi tanggung jawab setiap stokeholders, baik itu partai politik (Parpol) yang terlibat langsung dalam proses demokrasi di Tanah Papua dan juga pemerintah harus terlibat dengan hal - hal seperti ini karena dipandang sangat perlu mendapat dukungan dari pemerintah.
“Saya memberikan apresiasi yang luar biasa buat teman - teman yang menulis buku tersebut. Dikarenakan pada hari ini (Jumat, 13/12 lalu) semua orang Papua yang datang menghadiri peluncuran buku itu adalah untuk memberikan pikiran yang demokrat di Tanah Papua. Buku ini jangan dianggap sebagai karya biasa saja karena dengan adanya buku itu bisa memberikan suatu pendidikan politik yang baik buat pembelajaran dan memperbaiki demokrasi di Papua ke depan,” kata Marinus Yaug yang juga merupakan dosen Hubungan Internasional FISIP Uncen kepada Bintang Papua pada saat menghadiri peluncuran buku tersebut, di Aula P3W Padang Bulan, Kelurahan Hedam, Distrik Heram, Jumat (13/12) lalu.
Marinus mengatakan, ini merupakan suatu pendidikan politik yang luar biasa dan hal ini harus menjadi tanggung jawab setiap stokeholders, baik itu partai politik (Parpol) yang terlibat langsung dalam proses demokrasi di Tanah Papua dan juga pemerintah harus terlibat dengan hal - hal seperti ini karena dipandang sangat perlu mendapat dukungan dari pemerintah.
Marinus mengatakan sangat kagum dengan 3 orang penulis karena mulai muncul banyak penulis - penulis orang asli atau anak - anak asli Papua yang cerdas dan betul - betul menyampaikan pikirannya secara ilimiah untuk perbaikan sebuah sistem pemerintahan dan kekuasaan diatas Tanah Papua ini. “Sehingga ini merupakan momen yang terbaik buat semua orang Papua dalam menghadiri sebuah demokrasi di Tanah Papua,” katanya.
Lebih lanjut, Marinus mempunyai catatan khusus untuk Pilgub Papua yang banyak disinggung dalam buku itu adalah untuk menjustifikasi Pemilukada Gubernur Papua tidak demokratis dari sisi yang lain dapat dikatakan ya (benar). Tapi, dari sisi yang lain juga dapat dikatakan bahwa ini bagian dari sebuah proses demokrasi di Tanah Papua. “Kalau kita bicara soal sistem demokrasi itu mempunyai hubungan langsung dengan budaya politik yang ada di Tanah Papua ini. Ada 3 budaya politik yang di tengah - tengah masyarakat, yakni budaya politik subjek, parokhial dan partisipan. Nah, Papua saat ini masyarakatnya masih berada di dalam budaya campuran antara subjek dan parokhial,” ungkapnya.
“Kenapa saya bandingkan Papua lebih baik daripada Amerika Serikat (AS) karena dalam budaya politik subjek dan parokhial kita mampu melahirkan sebuah demokrasi yang dikerjakan oleh orang - orang Papua yang dalam tanda petik masih dianggap tingkat pengetahuannya masih rendah dalam soal - soal demokrasi dan politik. Akan tetapi, dia (orang Papua) mampu menjalankan demokrasi dengan berhasil. Maka itu kita harus memberikan apresiasi yang luar biasa bahwa Papua lebih baik dari Amerika Serikat (AS),” sambungnya.
Budaya politik subjek dan parokhial adalah budaya politik yang betul - betul memberikan ruang yang cukup luas buat kearifan - kearifan lokal bertumbuh dalam sistem politik. Tapi, kalau budaya politik partisipan itu adalah betul - betul penegakan hukum.
“Dimana, kita belum sampai ke budaya politik partisipan tersebut. Kalau ada orang yang menginginkan sistem politik Noken itu disingkirkan, maka bagi saya hal itu tidak akan pernah terjadi dalam budaya politik subjek dan parokhial. Tapi, hal itu akan terjadi dalam budaya politik partisipan, yakni dengan tingkat pengetahuan masyarakat yang cukup tinggi dan juga tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum maka hukum akan ditegakkan dalam budaya politik partisipan. Di Papua belum sampai pada budaya politik partisipan, padahal budaya politik punya pengaruh yang besar terhadap tumbuh dan berkembangnya sebuah demokrasi,” jelasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Buku berjudul ‘Pemilukada Gubernur Provinsi Papua Tidak Demokratis’ diluncurkan oleh 3 orang penulisnya, yakni Pares L. Wenda, Yoka Yoman dan Nigak Kogoya yang bekerjasama dengan Lembaga Intelektual Tanah Papua(LITP) dalam hal ini Ketua Dewan Pengurus Pusat Lembaga Intelektual Tanah Papua Dr. Natalsen Basna, S.Hut, M.Sc, di Aula P3W Padang Bulan, Kelurahan Hedam, Distrik Heram, Jumat (13/12) siang lalu sekira pukul 11.00 WIT.
Buku setebal 627 halaman dengan latar belakang berwarna biru dan juga gambar pulau Papua serta surat suara Pemilu itu isinya terdiri dari delapan bab. Diantaranya membahas tentang latar belakang Pemilukada Provinsi Papua, Demokrasi, Hukum Pemilukada, Pelanggaran Sistematis, Terstruktur dan Masif. Serta Pilgub Papua dan Isu Politik Pemekaran Kabupaten Lanny Jaya, perselisihan hasil Pemilihan Umum (Phpu) Pemilukada Provinsi Papua yang diterbitkan oleh Lembaga Intelektual Tanah Papua (LITP) dan dicetak oleh Galang Press di Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y.) (mir/don)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar