Editor's Vids

KONTROVERSI PERAN BIGMAN DALAM PEMILIHAN SISTEM NOKEN DI PAPUA

Oleh : Melkior N.N Sitokdana 
Yang dibahas dalam tulisan ini adalah peran Bigman dan noken sebagai symbol/alat politik. Subjek pemilih pada sistem noken adalah orang yang berpengaruh dalam sebuah komunitas masyarakat adat. Orang yang dimaksud  memiliki kemampuan atau kelebihan tertentu sehingga masyarakat setempat mengakuinya sebagai orang yang berwibawa. Beberapa suku mengakui seseorang atas kewibawaannya karena mampu memimpin kepentingan umum masyarakat setempat, seperti : (a) memimpin upacara adat, (b) membuka kebun kampung, (c) mendirikan rumah, (d) mampu menyelesaikan masalah, (e) mampu mengambil keputusan, misalnya dalam kondisi perang suku. Ada juga pemimpin-pemimpin klan yang diakuiberdasarkan senioritas dan prestasi.
Secara umum kepemimpinan di Papua ada empat yaitu (1) Tipe big man meliputi sebagian besar wilayah pegunungan tengah (Dani, Lani, Yali, Mee, Me/Mek dan Ok dan beberapa suku lainnya). Kepemimpinan diwilayah ini karakteristiknya bersifat terbuka (open sosial stratifcation status), sumber kekuasaan: kemampuan individual, kekayaan, kepandaian berdiplomasi/pidato, keberanian perang, fisik tubuh yang besar, sifat bermurah hati, dsb.. (2) Tipe raja, meliputi wilayah-wilayah kontak dengan kesultanan Ternate-Tidore, misalnya Raja Ampat di daerah kepala burung, Semenanjung Onin,Teluk Macluer (Teluk Beraur) dan Kaimana. Karakteristik kepemimpinan ini bersifat Closed Social Stratifcation Status, kedudukan turun temurun pewarisan berdasarkan senioritas kelahiran dan klan. (3) Tipe kepala suku/ondoafi, tipe ini meliputi wilayah Tabi, Nimboran, Teluk Humbolt, Table, Yaona, Skow, dan Waris. Karakteristik kepemimpinan ini, pewarisan kedudukan tradisional. Wilayah/teritorial kekuasaan terbatas pada satu kampung dan kesatuan sosialnya terdiri dari golongan atau sub golongan etnik saja dan pusat orientasi adalah religi. (4) Sistem campuran, berciri pewarisan (chief) terdiri dari kerajaan dan Ondoaf. Diperoleh melalui pewarisan dan pencapaian kemampuan individualnya (prestasi dan keturunan). Tipe initerdapat pada penduduk Teluk Cenderawasih, Biak, Wandamen, Waropen, Yawa, dan Maya (kemitraan, 2012).
Gagasan ini lebih menekankan pada peran Bigman dalam sistem noken. Pada dasarnya suku-suku yang ada di pegunungan tengah memilki tipe kepemimpinan yang sama, hanya kecenderungan kekuasaan agak sedikit berbeda, misalnya di Suku Dani, yang dominan adalah kepala perang. Pada suku-suku Ok Family dan Me/Mek Family di Star Mountains (Sekarang Kabupaten Pegunungan Bintang), bersifat dinamis, dimana setiap orang dapat menjadi  Bigman (bahasa Ngalum : Kitki) sepanjang mendapat pengakuan komunitas dalam wilayah tertentu. Sehingga untuk menjadi Bigman tidak dipilih tetapi diakui sebagai pria berwibawa karena miliki kemampuan atau kelebihan dalam bidang tertentu. Dengan adanya pengakuan tersebut, tidak serta-merta orang tersebut menggunakan kekuatannya untuk kepentingan politik kekuasaan. Pada prinsipnya mereka lebih banyak menggunakan musyarawah dan mufakat bersama.
Secara umum, Ok Family dan Me/Mek Family mengenal 6 macam pemimpin, yaitu (1) Oksangki/Okhangki adalah tokoh adat yang bertanggung jawab pada kesenian dan upacara-upacara sakral yang melibatkan tari-tarian. (2) Om Bonengki, tokoh adat ini bertangung jawab dalam hal pengelolaan lahan perkebunan dan makanan pada suatu komunitas. Secara khusus, jenis tanaman yang menjadi tanggung jawab tetua adat ini adalah om (keladi) dan boneng (ubi rambat). (3) Ap Iwol/Iwoo Ngolki, yaitu seorang pemimpin rumah adat pria. Ia mengatur masalah-masalah keagamaan dan menjadi pemuka upacara dan ritus yang berkenaan dengan daur hidup, dengan kekuatan-kekuatan di alam gaib dan manusia. Ap Iwol/Iwoo Ngolki sering kali dipandang sebagai tokoh adat yang meneruskan berbagai pengetahuan yang diperolehnya dari generasi sebelumnya. (4) Kaka Nalkonki adalah tokoh adat yang bertanggung jawab dalam hal peperangan. Dia tidak hanya berperan sebagai pemimpin perang, tetapi juga harus mahir dalam mengatur taktik perang, juga dapat menghentikan suatu permusuhan yang berlarut-larut dengan jalan mendamaikan pihak-pihak yang bermusuhan. ( 5) Barki /Baaki adalah tokoh adat yang berwenang menerima warisan moyang dan berperan sebagai lakonis lagu sakral dalam setiap upacara ritual. (6) Basen/Baahen, Lebuk Ngolki adalah tokoh adat yang bertanggungjawab dalam pendidikan adat pada jenjang Top Level (Agung Dwi Laksono, dkk/kemenkes, 2012).Pria berwibawa di suku-suku ini memiliki peran sesuai dengan kapasitas dan kapabilitasnya, sehingga tidak ada pemimpin yang memiliki kekuasaan lebih besar  untuk  dapat menguasai kelompok masyarakat adat tertentu. Setiap pria berwibawa saling membutuhkan, karena masing-masing mempunyai kelebihan tersendiri. Dalam satu perkampungan memiliki banyak pria berwibawa, sehingga mudah bekerja sama untuk mencapai tujuan bersama. 
Sejumlah pria berwibawa yang ada di wilayah pegunungan tengah memiliki pengaruh terhadap masyarakat setempat. Oleh karena adanya pengaruh,  sistem politik modern memanfaatkan pengaruh Bigman untuk kepentingan pemilihan umum legislatif dan eksekutif. Sistem ini tidak terlepas dari sebuah sistem yang dirancang NKRI ketika saat PEPERA 1969, dimana yang harusnya one man one vote, diwakili oleh para pemimpin dari setiap suku dan sub-sub suku yang ada. Diwilayah pegunungan tengah, diwakili oleh para Bigman, dimana saat itu mereka diancam, diintimidasi, diteror dan diberi imbalan barang, seperti supermi, jam tangan, kapak, pakaian, radio, dsb, agar mereka mewakili masyarakat untuk memilih bergabung bersama NKRI. Modus tersebut mulai dipelihara oleh elit politik, dimana mulai tahun 1977 pemilihan umum dilakukan dengan sistem noken (diwakili oleh para Bigman). Modus tersebut masih dipelihara hingga sekarang, cara ini dipandang sebagai cara paling instan untuk meraup keuntungan sebesar-besarnya tanpa membuang banyak biaya, waktu dan tenaga.
Pada dekade terakhir ini, masih beberapa daerah masih menggunakan sistem noken, terutama dalam pemilihan kepala daerah. Sistem ini kemudian diperbincangkan disaat pemilihan legislatif dan presiden 2014, berbagai kalangan saling berdebat mengenai keabsahan sistem pemilihan umum menggunakan noken. Kita ketahui bersama bahwa Noken adalah alat kebudayaan Papua yang  diwariskan dari nenek moyang pada setiap suku. Alat itu berupa tas multi fungsi yang terbuat dari anyaman serat kulit. Atas perjuangan putra terbaik Papua, Titus Pekei, UNESCO pada 4 Desember 2012 telah menetapkan Noken sebagai salah satu hasil karya tradisional dan warisan kebudayaan dunia. Noken mengandung philosofi tersendiri karena telah ada di dalam rumah-rumah adat sesuai klen/keret. Menurut Gerald Bidana pada media Tabloid Komapo News, edisi 1 (9 februari 2014), noken atau dalam bahasa Ngalum Ok adalah Menmengandung arti sebagai sumber penghidupan, sumber insfiratif, penopang dan penjala pikiran manusia, penyatuan kehidupan sebuah keluarga yang harmonis. Men juga menunjukkan keberadaan dan jati diri seorang wanita yang dengan tenang, jelih dan bijak dalam mengendalikan kehidupan keluarga. Wanita yang memiliki ketrampilan dalam mengerjakan, menyulam dengan jumlah yang banyak. Apabila seorang wanita tidak mampu menyulam dan menggunakan Men yang lebih dari tiga (3) buah, maka bisa dianggap wanita itu tidak siap sebagai calon ibu rumah tangga, tidak tahu bekerja keras dan jarang disukai kaum pria. Dapat juga dipercapai sebagai bentuk ke-ADA-an seseorang di dalam kehidupan bersama, menunjukkan kehadiran manusia di bumi, sebagai simbol keberuntungan hidup seseorang atau simbol kepribadian seseorang. Selain itu, sebagai simbol seorang ibu rumah tangga yang menyimpan rahasia keluarga. Dengan demikian secara sederhana Men adalah alat yang digunakan untuk menyimpan segala sesuatu dalam menopang kehidupan manusia secara personal maupun satu unit keluarga.
Noken tidak hanya sebatas yang diuraikan seperti diatas, sekarang lebih dari itu, misalnya digunakan sebagai simbol  demokrasi di Papua. Noken tidak hanya sebagai pengganti kotak suara, tetapi lebih pada peran Bigman mewakili komunitas masyarakat adat untuk menentukan pemimpin legislatif dan eksekutif. Mengenai ini, banyak mengundang pro dan kontra, bahkan pernah disengketakan dan diputuskan melalui KeputusanMahkamah Konstitusi (MK) nomor 48 tahun 2011. Menjelang pemilihan Legislatif dan Pilpres 2014, kembali diperdebatkan keabsaan sistem noken, Misalnya, Ketua Komisi Pemerintahan, Hukum dan HAM DPR Papua, Ruben Magay mengatakan sistem noken pada pemilihan umum di Papua seharusnya tak bisa ditiadakan, sebab noken adalah budaya orang asli Papua. “Dalam sistem noken terdapat nilai demokrasi, yakni musyawarah untuk mufakat. Ini tradisi yang dilakukan oleh masyarakat, khususnya masyarakat pengunungan tengah Papua,” ujarnya di Jayapura, Selasa (18/02/14). Sementara, Gubernur Papua, Lukas Enembe menuturkan penghapusan sistem noken pada pemilu legislatif dan presiden di Papua sulit dihindari, terutama bagi warga di pedalaman Papua. Sebab, penggunaan sistem noken telah terjadi di Papua sejak tahun 1977, pemilu pertama berlangsung di tanah Papua. “Jika sistem ini mau dihapus, maka butuh proses. Di daerah terpencil dan sulit dijangkau, belum tentu juga ada Babinsa di sana, maka sistem noken dapat terjadi di daerah itu, dengan cara keterwakilan,” jelasnya di Jayapura Selasa (18/02/2014, www.tabloidjubi.com).
Sedangkan yang kontra dengan sistem noken, seperti Forum Anak Adat dan Perintis Peduli Demokrasi Nabire meminta sistem noken harus di hapus, pasalnya, sistem ini secara tidak langsung membatasi hak memilih (15/02/2014, www.tabloidjubi.com). Komisioner Komnas HAM, Natalius Pigai mengatakan, penggunaan sistem noken jelas bukan hanya berpotensi melanggar hak asasi, namun juga merusak azas pemilihan umum. "Jelas tidak 'luber (langsung, umum, bebas, rahasia) dan jurdil (jujur dan adil)', pemilu itu individu bukan komunal," kata Pigai dalam kesempatan yang sama. Bukti sistem noken yang tak demokratis, di daerah pegunungan Papua hampir setiap suku mencoblos calon yang sama. "Jadi di suku A semua coblos calon nomor urut satu, calon nomor urut dua itu nol (tidak ada yang memilih). Berbeda di suku B yang semuanya coblos calon nomor urut dua," jelasnya. Pemilu Legisatif (Pilleg) 2014 di Papua, yang menurutnya tidak boleh menggunakan sistem Noken, karena menurutnya hal tersebut bila dilaksanakan merupakan sebuah pelanggaran HAM. “Dari konstruksi instrumen hukum HAM internasional, nasional sampai dengan adat istiadat di Papua, saya pastikan sistem Noken adalah melanggar HAM dan tidak dibenarkan,” cetusnya ketika memberi sambutan pada acara Sosialisasi bagi Pemengku Kepentingan Penyelenggaraan Pemilihan Umum 2014 Yang Damai, Berkualitas, Bermartabat, Berkemandirian, Berintegritas dan Berkredibilitas pada, Sabtu (18/01/14) di Gedung Sasana Krida Kantor Gubernur Papua.
Dirinya menambahkan, “Sistem Noken kalau itu diperbolehkan berarti ketidakmampuan Pemerintah untuk memastikan kepastian partisipasi politik. Undang-Undang tentang Hak Asasi Manusia (nomor) 39 tahun 1999, Pasal 71 itu sudah jelas bahwa pemerintah bertanggungjawab, pemerintah mempunyai kewajiban untuk melindungi, memastikan HAM, termasuk hak atas politik, jadi jangan lari ke noken-noken karena tidak mampu datang ke kampung-kampung,” sambungnya.
Ditegaskannya, masyarakat Papua memiliki sifat yang egaliter dan demokratis, dan tidak pernah menganut azas feodalisme yang cendrung bergerak atas arahan satu orang saja yang biasa dianggap sebagai raja. “Ingin saya sampaikan bahwa di Papua itu tidak ada feodalisme, jadi satu orang itu tidak bisa membawa klaim seribu orang. Dari 237 suku yang ada di Papua, hanya ada satu suku yang menggunakan sistem feodalisme, yaitu Suku Dani, dan hal tersebut ditegaskannya tidak bisa mewakili seluruh suku di Papua(11-02/14, www.tempo.co,).
Menurut Ketua KPU Papua, Adam Arisoy pada media tabloid jubi (17/02/14), sistem noken yang selama ini digunakan di Papua khususnya di wilayah Pegunungan pada Pemilihan Umum tak lagi dipakai dalam Pileg dan Pilpres, hal tersebut disampaikan karena belum adanya regulasi hukum yang mengatur penggunaan noken dalam Pemilu mendatang. Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) nomor 48 tahun 2011 lalu hanya mengatur penggunaan dengan sistem noken dapat digunakan pada pemilihan kepala daerah di setiap kabupaten/kota di Papua. “Sosialisasi tentang larangan penggunaan sistem noken akan terus kami lakukan. Pada pemilihan legislatif, masyarakat harus mencoblos sendiri ke Tempat Pemungutan Suara atau TPS. Tidak ada lagi yang namanya sistem perwakilan. Baik legislatif maupun pemilihan presiden. Kami akan tetap menyiapkan kotak suara, bilik suara dan kelengkapan lainnya,” kata Adam Arisoy, senin (17/02/2014). Menurutnya, KPU Papua telah mengajukan surat ke KPU pusat, terkait larangan penggunaan noken tersebut, namun hingga saat ini jawab belum didapat dari KPU pusat (www.tabloidjubi.com).
Sedangkan Komisioner KPU RI, Arif Budiman menyatakan penggunaan Sistem Noken tidak diatur dalam Undang-Undang, dan kalau pun sebelumnya KPU memperbolehkan sistem tersebut, itu hanya bersifat kasuistis. “Kalau kemudian dalam praktiknya ada noken, dan kemudian di sengketakan, maka sengketa itu putusannya kasuistis,” terangnya. Ia memberikan contoh, dalam pemilukada Yahukimo, dengan berbagai alasan penggunaan sistem Noken diperbolehkan, namun ia menegaskan hal tersebut tidak berarti di seluruh Papua berlaku hal yang sama. Tetapi Arif juga tidak bisa memastikan apakah nantinya KPU sama sekali tidak memperbolehkan penggunaan Sistem Noken dalam pemungutan suara, yang ditekankannya pada momen lain, tapi prinsip-prinsip bahwa Pemilu harus Luber (langsung, Umum, Bebas dan Rahasia) dan Jurdil (jujur dan adil),jadi langsung dilakukan sendiri, umum artinya siapapun yang memenuhi syarat boleh, bebas dia bebas memilih siapapun calon yang dikehendaki, rahasia artinya pilihan dia tidak diketahui oleh orang lain,” ucapnya. “Mau disebut apapun ketika prinsip-prinsip Luber dan Jurdil itu terpenuhi sesuai ketentuan Undang-Undang silahkan saja, itu hanya penyebutan saja. Tetapi sistem noken yang dilakukan itu tidak memenuhi prinsip itu maka tidak bisa,” terangnya. (http://bintangpapua.com, 20-01/2014).
Ketua MK Hamdan Zoelva pun bereaksi, menurut dia, MK tak membenarkan sistem noken dan ikat. Dia pun mengakui terdapat sistem noken dan ikat dalam sengketa pemilukada yang diadili MK. Namun Hamdan meyakinkan Komnas HAM bahwa sistem noken dan ikat adalah kejadian yang kasuistis. "Jadi amat jarang terjadi," kata dia. Menurut Hamdan, sistem noken di Papua terpaksa dilakukan karena pertimbangan geografis wilayah pegunungan yang susah diakses. Sehingga tak semua warga suatu suku dapat turun gunung demi mencoblos di tempat pemungutan suara (www.tempo.co, 11-02/14).
Terlepas dari pendapat berbagai kalangan mengenai sistem noken, menurut hemat saya, sistem noken untuk saat ini tidak efektif untuk diterapkan.Mengapa demikian, (1) seiring dengan pengaruh arus modernisasi, adat-istiadat semakin hari semakin terdegradasi. Masyarakat adat setempat tergantung pada produk budaya luar. Disaat adanya ketergantungan, harga barang melambung tinggi, akses pasar dan daya beli masyarakat semakin minim. Kondisi seperti ini otomatis telah melemahkan kekuatan masyarakat, sehingga mereka membutuhkan bantuan dari pihak lain, terutama pemerintah daerah. Disaat-saat tersebut, para politikus pragmatis memanfaatkan waktu dan kesempatan untuk memberikan bantuan beras, supermi,pakaian, perumahan, dsb. Dengan pendekatan seperti ini tentu sudah melemahkan peran Bigman yang notabennya adalah pria bijaksana, indipenden,dan adil. Tanpa mempertimbangkan kematangan berpikir dan bertindak seorang calon pemimpin, Bigman menggunakan kekuasaannya untuk memilih pemimpin yang memberikan imbilan kepadanya. (2) pemimpin lokal Papua yang ingin bersaing dipentas pemilihan umum legislatif dan eksekutif rata-rata tidak dimatangkan melalui proses pendidikan inisasi adat yang tersistematis. Padahal melalui proses pendidikan tersebut, dapat menciptakan para pemimpin yang kuat secara intelektualitas, emosional dan spritualitas. Karena rata-rata tidak melalui proses tersebut, kematangan berpikir dan bertindak pemimpin Papua semakin lemah, diperparah dengan moralitasnya yang semakin hari semakin hancur, seperti kasus korupsi, minum mabuk, judi, kejahatan, dsb. Dengan demikian, sangat sulit untuk menentukkan para pemimpin yang jujur, adil dan bermoral baik. Jika para pria berwibawa tanpa mempertimbangkan segala aspek dari seorang pemimpin lalu memilih,  dan yang dipilih adalah pemimpin yang tidak mempunyai fondasi ilmu, iman dan moral maka jelas akan melecehkan  kewibawaan, kesakralan, martabat, harga dirinya. Selain itu, kesucian noken yang notabennya adalah sumber penghidupan, sumber insfiratif, penopang dan penjala pikiran manusia, penyatuan kehidupan sebuah keluarga yang harmonis, menunjukkan keberadaan dan jati diri seorang wanita dilecehkan.Sistem noken ini berjalan baik jika melalui prosesi adat yang tersistematis, dengan ini tentunya proses pemilihan pemimpin melalui seleksi alam, tanpa ada pengaruh sistem atau akulturasi budaya. Karena sejak dulu kala, waktu adat istiadat masih alami, menjadi pria berwibawa tidak segampang sekarang, karena semua melalui proses seleksi alam yang dibentuk melalui sistem pendidikan adat. Dengan itu, dapat menciptakan pemimpin yang berpengetahuan, jujur, adil, dan bertanggungjawab. Kearifan lokal itu yang harusnya diangkat kemudian dilegalisasikan. (3) Jika dilihat dari  konteks demokrasi era sekarang, maka sistem noken jelas-jelas melanggar aturan perundang-udangan karena sampai sejauh ini belum ada regulasi yang mengatur tentang sistem noken. Prinsip demokrasi harusnya merupakan perwujudan kedaulatan rakyat guna menghasilkan pemerintahan yang demokratis. Penyelenggaraan pemilu yang bersifat langsung, umum, bebas, rahasia, jujur dan adil hanya dapat terwujud apabila Penyelenggara Pemilu mempunyai integritas yang tinggi serta memahami dan menghormati hak-hak sipil dan politik dari warga negara. Penyelenggara Pemilu yang lemah berpotensi menghambat terwujudnya Pemilu yang berkualitas, seperti yang diamanatkan dalam UU No 15 tahun 2011. Sehingga jika merujuk pada aturan hukum tersebut maka sistem noken tidak dibenarkan. Terlepas dari itu, dalam lingkup budaya, seorang Bigman tidak melalui proses pemilihan, tetapi lebih pada pengakuan masyarakat karena kepandaian, kecerdasan, kebijaksanaan, dan kesejahteraannya. Sehingga seorang Bigman tidak memiliki kewengan untuk menentukan pilihan mewakili banyak orang. Hanya dalam kasus-kasus tertentu, misalnya pada suku Dani, peran kepala suku sangat strategis karena mengandung asas feodalisme. Dengan demikian,  kepala suku memiliki kewenangan  untuk mewakili banyak orang dalam melakukan pemilihan. Kesimpulan; (1)Sistem noken adalah adopsi sistem PEPERA 1969. (2) Untuk saat ini, sistem noken tidak akan efektif, malah akan menimbulkan konflik horizontal. Hal ini bisa terjadi karena peran Bigman lemah, sehingga gampang sekali dipengaruhi dengan berbagai cara, seperti yang terjadi pada PEPERA 1969. Jika sistem Noken ingin diterapkan maka harus kembali kepada adat-istiadat, terutama pemilihan pemimpin melalui proses seleksi alam  yang dihasilkan melalui  sistem pendidikan adat.

Related News

Tidak ada komentar:

Contact Us

Stats

Archive

Recent News

Video Of Day

Send Quick Massage

Nama

Email *

Pesan *

Catwidget2

Catwidget4

Catwidget3

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Entri Populer

Search This Blog

Popular Posts

Entri Populer

Entri Populer

Entri Populer