*Oleh: Pares L.Wenda
(sebuah
perspektif busur dan panah atau cambuk untuk abang-abang 32
Pemimpin
Bupati dan Wakil Bupati di Wilayah La Pago dan Mee Pago)**
Tulisan ini bermula dari
peringatan hari jadi noken pada 4 Desember 2013 di Auditorium Uncen Jayapura yang merupkan
hari Hut pertama diselenggarakan mahasiswa Uncen dan mahasiswa beberapa PTS
yang ada disekitar Jayapura. Kalau saya tidak salah ingat, kegiatan ini
dikomondai saudara Natan Tabay,cs. Dalam HUT pertama yang bernilai historis itu,
gubernur Lukes Enembe bersama Bupati Paniai hadir atas undangan panitia. Gubernur
sebelum menyampaikan pidatonya mengatakan bahwa saya di undang untuk
menyampaikan sambutan dalam acara yang sama yang dilakukan Pemprov di Museum
Loka Budaya Waena namun saya lebih memilih hadir dengan adik-adik mahasiswa disini.
Selain itu, saya mungkin
orang dalam sejarah peringatan noken prtama sebagai warisan dunia “tak benda”
yang diminta untuk berdoa dan saya senang sekali meskipun awalnya saya diundang
untuk hadir via SMS oleh Natan Tebay dan tidak diberitahukan panitia bahwa dalam
acara bersejarah tersebut untuk “berdoa”. Tulisan ini pertama, didasari pada Pidato Gubernur Lukas Enembe yang saya ingat
dari semua pidatonya tanpa teks hampir 30 menit lebih itu, adalah “noken harus dijadikan nilai ekonomi tinggi”,
saya berharap panitia telah merekam seluruh pidato itu karena pidato pertama
adalah pidato yang bernilai sejarah apapun itu isinya. Setelah ratusan tahun
bahkan ribuan tahun masyarakat Melanesia di Papua melalui tray and error mewariskan noken kepada anak cucunya hingga dalam
peradaban Papua pada zaman kita hidup ini, kita saksikan dunia mengakui satu
benda yang bernama “noken” oleh masyarakat Internasional pada 4 Desember 2012
melalui UNESCO.
Dalam tulisan ini saya
juga menyampaikan apresasi dan penghargaan yang sangat tinggi kepada Titus
Pekey sebagai penggagas Noken warisan dunia “tak benda”, juga terutama sekali
kepada anda semua dibalik layar yang telah bekerja sama dengan Titus Pekey
mengupayakan noken supaya mendapat tempat yang layak di dunia ini. Ini upaya dan kerja keras yang sungguh luar bisa,
sementara di area yang lain orang berusaha menghancurkannya tetapi di area yang
lain datang pengakuan dunia dalam bahasa pasaran kalau orang mendalaminya atas
upaya ini mereka akan mengatakan “aiii
sediooo, wawawawa, akhirnya meneteskan air mata, karena tidak ada kata yang
sanggup menterjemahkan upaya yang dicapai Titus Pekey cs”.
Kedua, waktu itu saya mebawa uang disaku saya hanya Rp.200.000,-
saya ingin sekali mendapat noken dari stan mama Mee yang menjual noken anjaman
asli yang kualitas nomor 1, dari ujung stan yang satu ke ujung stan yang lain
saya telusuri dan melihat semua harga-harga yang dipajang dan ditempel pada
masing-masing noken. Kebetulan noken yang saya incar tidak mencantumkan harga
yang dituangkan, karena noken yang saya cari ada lalu saya bertanya “mama ini
noken harga berapa? Secara spontan mama yang jaga stan itu jawab Rp.1.000.000,-
niat saya untuk membeli sirna sudah, karena memang saya tidak mempunyai cukup
uang dengan nilai itu. Saya akhirnya memutuskan untuk pergi duduk saja. Lalu
saya sharing kepada Ferry Marisan
(Direktur Elsham Papua) yang duduk bersama berdampingan dengan saya. Saya
bilang kaka saya tadi mau beli noken tetapi harganya mahal sekitar
Rp.1.000.000,- “Marisan menjawab ade itu masih murah kalau noken ini dijual
dipasar Internasional bisa mencapai Rp.100.000.000 ,- karena noken telah diakui
sebagai warisan dunia “tak benda”.
Merujuk dari apa yang
dikatakan Gubernur dan Direktur Elsham Papua ini memberi inspirasi untuk
menulis opini ini.
Sistem Noken dan Konflik Kekerasan
Sistem Noken
telah menjadi perdebatan utamanya ketika Noken dijadikan sebagai “pengganti
kotak suara dalam system pemilu di wilayah adat Mee Pago dan La Pago”
dimulai dari kasus pemilu tahun 2009 di Yahukimo yang diakui MK dengan
penggunaan system noken hingga pemilihan Gubernur Papua tahun 2013. Setidaknya
terhadap system noken ini sebelumnya sudah didiskusikan di ruang public
terutama sekali di rana hukum dan media, kemudian dalam rana karya ilmiah telah
ditulis dua buku oleh para Intelektual Papua. Pertama Noken Demokratiskah
ditulis oleh Piter Ell at al (2013) dan buku kedua ditulis oleh Pares L.Wenda
at al (2013) dengan judul Pilgub Papua tidak Demokratis isinya sedikit menyinggung
tentang system noken. Kemudian opini yang ditulis oleh saya sendiri pada 28
January 2014 yang diterbitkan media Cepos dan majalah selangkah online yang
saya ikuti telah dibaca, dilihat atau untuk kepentingan mengutip lebih dari 422
kali pada majalaselangkah.com per 25 Pebruari 2014.
Kemudian
disusul opini dari Benny Sweny (Mantan Ketua KPU Papua) pada Media Bintang Papua
setelah mengikuti dinamika diskusi public tentang system noken, serta
upaya-upaya legal formal yang dilakukan oleh Komnas HAM RI agar system noken di
Papua dan system kerterwakilan yang berlaku di Bali ditiadakan karena melanggar
HAM. Setelah itu setidaknya sudah banyak pihak yang telah berkomentar tentang
system noken.
Yang dapat
dilihat disini adalah upaya agar system noken atau noken dapat di hormati,
dihargai sebagai warisan budaya “tak
benda” yang diakui masyarakat dunia melalui UNESCO. Juga dalam konteks
Konstitusi Negara telah mengakui pada Pasal 18B ayat 2 UUD 1945 sebagai bentuk
kearifan lokal, tetapi pada ayat 2 ini memberikan penegasan kalimat “Negara
mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta
hak-hak tradisionalnya………yang diatur dalam UU. Dalam konteks system noken
sebagai bentuk kearifan lokal secara konstitusi diakui tetapi bahwa sebagai
norma hukum pelaksaannya dalam bahasa konstitusi kita dengan kalimat “yang diatur dalam undang-undang” ini
yang saya kira belum diakomodir tentang system noken hingga detik ini.
Dalam legal
stending merujuk pada masukan konstruktif dari,
Anton Raharusun pada 28 November 2013 melalui
media online aldppapua.com bahwa “Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK)
dalam sistem noken terkait kasus Yahukimo itu, sebetulnya MK bukan melakukan
suatu pengujian terhadap suatu undang-undang, artinya MK tidak melakukan suatu
Yudisial Review, tetapi MK melakukan putusan terhadap sengketa pemilukada.
Sehingga, disitu tidak melahirkan sebuah norma. Kalau MK melakukan suatu
putusan dalam pengujian terhadap undang-undang atau Yudisial Review, maka MK
akan melahirkan sebuah norma. Norma itu yang dijadikan sebagai standard, juga
sebagai rujukan hukum untuk diterapkan dalam berbagai permasalahan, ”...”dalam
kasus sekarang ini, MK tidak memberikan suatu putusan terhadap norma hukum,
tetapi MK memutuskan dalam merespon budaya kearifan-kearifan lokal, sehingga
semua pihak harus memahami itu dalam perspektif putusan MK”...”Ketika kita
bilang sistem noken itu demokratis, itu tidak demokratis mengapa, karena
masyarakat tidak memberikan hak suara secara bebas. Kita tau bersama, asas dari
pemilihan umum itu, langsung bebas, umum dan rahasia. Kalau kita ingin
membangun sebuah demokrasi di tengah masyarakat, tentunya masyarakat harus
mendapat perubahan baru dalam peradaban berdemokrasi. Ini artinya, di lihat
bahwa Anton sebagai seorang pakar hukum telah memberikan pendidikan hukum yang
sangat berarti bagi sebagian kita yang awam terhadap hukum. Tetapi juga merujuk
pada apa kata Konstitus pada pasal 18B ayat 2 terkait kalimat “yang diatur dalam
undang-undang”.
Sistem
noken berpotensi kekerasan yang dimaksud disini merujuk pada pemikiran teori
Johan Galtung dalam (Windhu, 1992:64)
bahwa kekerasan sering disebabkan karena perbedaan antara yang potensial dan
yang aktual. Lebih lanjut Galtung memberi gambaran tentang potensial dan
actual. Misalkan pada abad 18 orang sakit TBC dengan fasilitas kesehatan yang
serba terbatas yang menyebabkan orang di bawah ke rumah sakit tetapi kemudian
orang itu meninggal karena tidak mendapatkan layanan kesehatan yang maksimal tidak
disebut potensial tetapi ketika pada masa sekarang fasilitas kesehatan yang
canggih ini orang kena penyakit yang sama lalu dibawah ke rumah sakit dan tidak
ditangani dengan baik itu adalah kekerasan dalam bahasa softnya masuk ke rana kekerasan structural
violence orang dengan sengaja dibiarkan atau tidak ditangani secara
professional yang mengakibatkan orang meninggal dunia.
Sementara
kekerasan actual adalah orang dilukai, atau dibunuh, dan seterusnya. Merujuk
dari teori di atas maka sebenarnya Pemerintah pada tahun 1977/78-1999 di
wilayah pegunungan tengah wilayah La Pago dan Mee Pago dikalah itu hanya ada dua
daerah administrasi pemerintahan yaitu Kabuapten Jayawijaya dan Nabire.
Menggunakan system noken mungkin dapat di pahami dan wajar, tetapi dengan
konsep pemerintah “mendekatkan
pembangunan kepada masyarakat” maka di wilayah adat La Pago telah memiliki
10 Kabupaten dan wilayah Mee Pago 6 kabupaten, di dalamnya telah ada
pemeririntihan definitive sejak 1999/98-2014.
Kalau pemerintah masih menggunakan terminologi daerah yang sulit, dana yang
kurang, ini sebenarnya telah terjadi pembiaran pendidikan politik dan proses
pendidikan demokrasi, maka merujuk dari pemikiran Galtung di atas bahwa telah
masuk dalam kategori kekerasan structural
dengan sengaja melakukan pembiaran pada hal pemerintah mempunyai kapasitas yang
memadai untuk melakukannya. Dengan pemikiran lain juga bahwa dulu orang belum
bisa ke bulan sekarang bisa, dan di 16 kabupaten inikan bukan di bulan tetapi
masih bagian dari dunia yang besar ini dan kebetulan di daerah wilayah adat Mee
Pago dan La Pago.
Minimal dalam setiap iven pilkada, pemilu
legislative, dan pilpres misalkan 5 dari 10 distrik disatu kabupaten dapat
menggunakan kotak suara dan tidak menggunakan sistemn noken, ini artinya secara
bertahap ada upaya pemerintah untuk memajukan demokrasi dan politik di daerah
tersebut, tetapi kalau 10 distrik semuanya menggunakan system noken dengan
kondisi daerah yang telah dimekarkan saat ini, pemerintah masih menggunakan
terminology yang sama, maka bagi saya, pemerintah melakukan pemekaran bukan
untuk pembangunan termasuk pembangunan politik, hukum, dan demokrasi tetapi ada
kepentingan-kepentingan politis lainnya. Dan itu artinya pemerentah dengan
sadar telah melakukan penghancuran masa depan masyarakat di wilayah adat Mee
Pago dan La Pago.
Jadi
sebagai pemerhati pembangunan demokrasi, hukum dan politik atau dimensi
pembangunan lainnya kita bertanya, apa ini pemerintah serius atau hanya
bermain-main? Sebenarnya Kabupaten yang terlalu banyak rupanya juga tidak
mendekatakan pembangunan pendidikan politik, hukum dan demokrasi kearah
pendewasaan masyarakat Papua di wilayah pengguna system noken. Kita tidak dapat
mengatakan bahwa kabupaten A atau kabupaten B baru berumur 3 sampai 4 tahun dalam
pemekarannya jadi analisis seperti ini terlelu berlebihan, menurut saya ini
bukan jawaban yang diinginkan.
Menurut
analisa saya bukan itu soalnya, tetapi bahwa karena pemerintahan yang ada bukan
semuanya orang baru? Tetapi ada orang dari kabupaten Induk yang telah
berpengalaman dan telah pindah di wilayah-wilayah pemekaran baru tersebut.
Pemimpinnya adalah orang terdidik baik dari pemerintah Pusat, Provinsi dan
Kabupaten di wilayah pengguna system noken. System pemerintah bekerja sesuai
regulasi. Jadi sangat tidak diterima akal sehat kita sebagai masyarakat peduli demokrasi,
politik dan hukum.
Kedua,
dalam teori Fisher at al (2000:4) kekerasan juga adalah bahwa orang/lembaga
dengan sengaja menghalang-halangi potensi orang lain secara individu atau
kelompok untuk merai potensi terbaiknya. Merujuk dari teori tersebut bahwa
pemerintah dengan sengaja menghalangi pendidikan politik, demokrasi dan hukum
di wilayah La Pago dan Mee Pago untuk melaksanakan hak demokrasi, hak politik
mereka dan hak untuk mendapatkan pendidikan hukum dan mengerti tata laksana
system demokrasi modern, pada hal pemerintah mempunyai kapasitas memadai untuk
memulai sekarang not tomorrow.
Ini
telah dikategorikan dalam kekerasan potensial atau kekerasan sistematis, atau
kekerasan laten yang sewaktu-waktu mempunyai potensi terjadi kekerasan actual,
dan sebenarnya kekerasan actual telah terjadi dalam pemukulan seorang calon
Gubernur di Yahukimo pada January 2013 dan Pembunuhan terhadap Yason Karoba di
Tolikara dalam pemilu tahun 2013 dalam iven demokrasi, hal seperti ini
sebenarnya bisa dihidari. Kita berharap bahwa kondisi seperti itu tidak
terulang lagi.
Terkait
dengan posis big man di dua wilayah
tersebut sebenarnya sudah bergeser, posis big
man hari ini ada pada Bupati dan Wakil Bupati sebagai pengendali simua
system pemerintahan daerah. Kepala suku hanya dijadikan scapegoat. Peranan kepala suku-kepala suku di dalam konfederasi
masing-masing telah dibajak oleh Kadistrik dan Kepala Kampung atas nama kepala
suku mereka ini yang mengelola suara, mengapa ini bisa terjadi karena tadi
belum ada system pendidikan politik, demokrasi dan hukum yang mendewasakan
mereka. Kalau seperti ini idikator kerberhasil dibidang politik, hukum dan
demokrasi seperti apa yang mau diukur?
Misalnya
pada Pilgub tahun 2013 di Distirk Kota Wamena beberapa TPS masih menggunakan
Noken sebagai kotak suara, demikian juga di Distrik Tiom, Distrik Kota Mulia
dan juga mungkin di beberapa Ibu Kota Kabupaten di 16 Kabupaten yang tersebar
di wilayah Mee Pago dan La Pago. Hal ini mengingatkan saya, waktu saya masih
kecil di Kampung saya di Distrik Tiom tahun 1989/90, Orang Tua saya Nicolas
Yigibalom ketika itu menjadi Camat Tiom, dia selalu
mensosialisasikan program-program pemerintah di pasar pada Hari Senin dan Hari
Kamis dengan fasilitas Megaphome di Pasar Tiom, yang mana dua hari itu,
masyarakat dari kampung-kampung berkumpul untuk menjual hasil bumi mereka.
Salah satu hasil pendidikan politik yang dibangunnya, seorang gembala umat
bersaksi dalam buku Pares at al (2013:128) Teti Wenda menuturkan: “…kami sejak dulu sudah tahu cara memilih
tetapi pemilihan gubernur dan wakil gubernur kali ini dilakukan
sembunyi-sembunyi tanpa diketahui oleh masyarakat Lanny Jaya” kalimat ini
bukan bermaksud mengungkap apa yang terjadi tetapi dengan kalimat ini saya
ingin katakan bahwa pendidikan politik pada tahun pemerintahan Nikolas
Yigibalom di Tiom telah menanamkan prinsip-prinsip demokrasi, politik satun dan
elegan.
Tetapi
sayang, pendidikan demokrasi dan politik ini tidak diteruskan setelah adanya
daerah otonomi baru yang bernama “Kabupaten Lanny Jaya” merujuk dari dua teori
kekerasan dan pengalaman yang diungkapan secara jujur di atas menunjukan bahwa
sebenarnya ada yang salah disini! Bahwa kekerasan structural dan sistematis
sedang dilakukan dan hal ini tidak disadari. Galtung lebih lanjut menolak
persepsi sempit kita bahwa kalau kekerasan itu hanya dipandang dari kekerasan
yang sifatnya destruktif atau kekerasan nyata yang terjadi pada fisik manusia seperti
dilukai, dibunuh dan menghancurkan benda-benda yang dimiliki seseorang atau
kelompok masyarakat dalam komunitas tertentu, atau perang yang melibatkan etnis
yang satu dengan lainnya atau state to
ohters.
Sementara
itu Konflik menurut Fisher at al dan Galtung, mereka berpendapat bahwa konflik
tidak harus membuahkan “kekerasan potensial atau actual” tetapi konflik itu
penting dan harus ada di masyarakat atau pada person, agar konflik tersebut
dimanfaatkan untuk memacu meningkatkan potensi person atau kelompok masyarakat
untuk meningkatkan daya saing dan juga konflik tersebut dapat dikomunikasikan
untuk menemukan sasaran-saran yang tidak sejalan dengan komunikasi dapat
menemukan jalan keluarnya agar masing-masing pihak yang berkonflik dapat
memenuhi kebutuhan personal atau kelompok dan seterusnya yang diikatkan dalam
satu kesepakatan bersama yang kemudian dikawal dalam proses implementasinya.
Terkait dengan system noken ini jika dilihat dari kacamata konflik dari Fisher
at al dan Galtung maka pemerintah seharusnya mencari alternative lain dengan
menghindari konflik yang berujung pada kekerasan potensial dan actual tadi.
Sebab dengan demikian kita dapat membangun Papua Baru dalam Perdadaban baru. Inilah
yang saya kira menjadi visi Gubernur dan Wakil Gubernur “LUKMEN” dan mestinya
diterjemahkan oleh 16 Kabupaten di wilayah adat Mee Pago dan Lani Pago, ini
menjadi tanggungjawab moril untuk mensukseskan Pemilu Nasional tetapi juga
program-program Gubernur dan Wakil Gubernur sebagai salah satu indicator
pembanguan adalah terlaksanakannya hak demokrasi, hak politik warga Negara dan
hak atas memahami proses demokrasi dan pelaksanaan hukum itu sendiri.
Kalau
16 Kabupaten di Wilayah Pegunungan memberikan suara kemenangan kepada Lukmen
tanpa didukung dengan program nyata seperti ini berarti ibarat anak ayam
kehilangan induknya. Kalau ada yang memberikan pemikiran konstruktif bahwa noken adalah bentuk kearifan lokal yang perlu
dipertahankan, saya justru melihatnya ini destruktif yang tidak produktif.
Kalau ada yang melihat kalau dipaksakan system nasional dan itu menjadi konflik,
saya melihatnya dalam kacamata Galtung dan Fisher at al. Tetapi secara obyektif
saja menduga bahwa dengan waktu yang tersedia kemungkinan tidak menggunakan
system noken peluang sangat tipis dan tidak mungkin terjadi, minimal pada
decade-dekade yang akan datang perlu melakukan sosialisasi lebih awal sehingga
pemerintah tidak terjebak dalam teori pemikiran Galtung dan Fisher at al.
Saya
ingin memberikan tawaran konsep bagaimana melakukan system pemilu demokratis
yang Luber dan bukan “Lubet” (Lubet
adalah singkatan dari Langsung Umum Bebas Terbuka yang diperkenalkan oleh
seorang wartawan Jubi “Benny Mawel”, lihat Jubi online), di wilayah adat
Mee Pago dan La Pago.
Konsep
yang dimaksudkan pertama untuk menghindari teori Galtung dan Simon Fisher,
tetapi merujuk pada pemikiran Emile Durkeim (dalam Pip Jones 2010:46-48 dan
Rahadhani Setiawan 2013: 260-266) yaitu bagaimana masyarakat dari solidaritas mekanik menuju masyarakat solidaritas organik. Dari dua pembahas teori Emile sosiolog
Yahudi berkebangsaan Prancis yang kemudian pindah ke German dan meninggal pada
usia sangat muda 59 Tahun juga seorang ateis walaupun ayahnya adalah seorang
Pendeta Yahudi ini menyampaikan teorinya tentang kehidupan sosial pada
masyarakat yang menganut struktur social SM dan struktur social SO. Merujuk
pada teori Emile bahwa masyarakat adat La Pago dan Mee Pago yang mempunyai
struktur social SM itu, telah mulai bergeser minimal sejak pengaruh gereja,
Islam dan dua pemerintah Belanda dan Indonesia, tetapi harus diakui bahwa
perubahan struktur social menuju SO ini terjadi pada era pemerintahan
Indonesia. Dewasa ini selalu diperhadapkan pada kondisi masyarakat di dua
wilayah adat itu, geografis wilayah dan steryotipe lainnya.
Bagian
ini sangat kontras dengan sudah ada 16 pemerintahan kabupaten devinitif baru. Saya mengusulkan dua pemikiran tetapi saya
juga sadar bahwa pasti ada dilemma dan dilemma ini akan datang dari penikmat
hasil system noken, dan tidak mempunyai kepentingan terhadap struktur social
SO, namun Emile mengatakan orang-orang seperti itu akan tersingkir dengan
sendirinya dengan kemajuan yang dicapai
dalam strukutur social SO. Variable yang
dipakainya adalah perkembangan ilmu pengetahuan, kehidupan structural social yang semakin
indvidualis tetapi saling bergantung dengan prinsip-prinsip fungsional dan
peranan kritis dari agama-agama dalam solidaritas social manusia. Solidaritas
social yang ketiga ini dilakukan oleh Mahadma Gandhi di India, Marthin Luther
King di Amerika, Oscar Romero di Elsalvador, Uskup Desmon Tutu di Afrika
Selatan dan masih banyak lainnya. Pemikiran yang dimaksudkan adalah upaya
menempatkan Noken pada posisinya yang tepat dalam rana kearifan local yang
diakui dunia yang mana pengertian tersiratnya adalah mempunyai nilai ekonomi
tinggi, bukan nilai politik tinggi.
Mari
16 Kabupaten di wilayah pegunungan membuat master plan dalam setiap periode
pemilihan untuk membangun demokrasi,
politik dan taat aturan dan ini penting demi anak cucu kita di masa depan dan
dalam jangka panjang diberlakuan system nasional. Supaya dalam jangka panjang
terwujud dengan elegan pemikiran Emeli terkait struktur social SO, SO yang
dimaksud Emile lebih luas yaitu perkebangan struktur social masyarakat dalam SO
harus diikuti dengan Undang-Undang yang restitutif
daripada represif. Dimana UU restituf
itu Emile mendefinisikan lebih pada berfungsi mempertahankan atau melindungi
pola saling ketergantungan, UU restituf bertujuan juga untuk mengurangi
adanya UU represif. Mari kita menggunakan system piramida dari struktur social
SM menuju SO atau dari system noken menuju system nasional dalam konteks
penggunaan kotak suara dengan tetap mempertahankan nilai noken sebagai warisan
budaya “tak benda” yang diakui dunia dan mengantar noken ke pasar global.
Noken adalah emas di tangan mama Papua wilayah
adat Mee Pago dan Wilayah Adat Lani Pago. Kalau Emas di dalam tanah Papua
engkau tidak bisa mengelolanya, maka emas ditangan mama yang telah diakui dunia
ini jangan lagi disebunyikan seperti emas dari dalam tanah Papua yang diambil
setiap tahun yang hingga kini kayalyak umum Papua tidak banyak yang tahu. Tetapi
noken sebagai symbol emas di mana mama sendiri ciptakan tidak ada seorang pun
di dunia ini atau jutaan perempuan di dunia ini mengambil hasil dari jerih payah mama. Mama
sendiri menerima nilai Rp. 1 jt atau nilai Rp.50 juta rupiah akan datang
ditangan mama Papua tidak ada yang mengintervensi mama.
Sekarang
anak yang dilahirkan mama ada 32 pemimpin di wilayah gunung ini apakah anda
bisa mengubah piramida di bawah ini dari system noken menuju system nasional
dan menempatkan noken sebagai komoditi keraifan local yang bernilai ekonomi
global, mungkin ini yang disebut dengan produk unggulan kelas dunia. Seperit
Inggris 400 tahun yang lalu membangun ekonominya dengan produk unggulan wal dan
kapas jauh lebih maju dari Negara manapun pada abad 17 atau prancis dan Amerika
membangun ekonomi mereka dengan produk unggulan utamanya dengan kereta Api,
atau Jepang membutuhkan 100 tahun saja untuk mencapai kondisi seperti saat ini,
lalu apa yang mau dibanggakan dari milik Papua yang paradoksnya tanah yang kaya
dan miskin rakyatnya, apakah noken juga mau dimiskinkan, mau dirusak, saya kira
tidak demikian.
Wilayah
Adat La Pago Dan Mee Pago:
Menuju
Pemilu Sistem Nasional
Noken Menuju Pasar Global: Dari
Wilayah Adat La Pago dan Mee Pago
Analisis SWOT, kekuatan (strengths) dasar dari pelaksanaan dua konsep yaitu membangun
demokrasi, politik dan tata lakasana regulasi dan Noken menuju pasar global di atas
bahwa kekuatan yang dapat diandalkan yaitu pengakuan dunia atas noken, UUD
1945, UUD 35 Perubahan kedua atas UU 32 Tahun 2004, UU Otsus-atau mungkin juga
UU Otsus Plus kalau UU ini mendapat persetujuan Pemerintah, dan yang lebih
penting adalah kekuatan rakyat terutama mama-mama Papua pada Wilayah Adat Mee
Pago dan La Pago. kelemahan (weaknesses),
belum ada sosialisasi noken sebagai warisan dunia, belum terbangun kesadaran
bisnis ditingkat pemerintah dan mama-mama produser utama noken Papua,
produk-produk industry yang dapat mengalakan noken dalam persaingan pasar,
belum adanya wadah sebagai akses informasi bisnis,dll. Peluang/Kesempatan
(opportunities) kesempatan terbaik kita adalah
waktu sebagai pemberian Tuhan, ini waktu yang diberikan dunia kepada mama dan
pejabat Bupati di 16 Kabupaten untuk melihat potensi noken sebagai warisan
dunia, tidak hanya mendapat perlindungan internasioanal, pada saat yang sama
dibuka kesempatan untuk menciptakan karya terbaik noken menuju pasar global,
inilah waktu untuk melindungi hutan sebagai produser utama bahan baku noken di
16 wilayah administrasi (kembali masa lalu leluhur kita bagaimana system
pengelolahan pertanian yang telah berusia 3.000 tahun itu), inilah waktu kita
membangkitkan keterpurukan ekonomi sebagaian dari rakyat kita, inilah waktu
kita untuk membangun menajamen pengelolahan ekonomi berbasis kearifan local,
inilah waktu yang sebelumnya belum pernah ada, dst. peluang ini harus
dimanfaatkan, kalau orang berbicara Papua Merdeka ditangkap, tetapi ketika anda
berbicara ekonomi lalu anda ditangkap ini namanya “kebangatan kata orang Jawa”
kalau Politik ada orang lain juga ingin jadi wakil Bupati dan ada limited ,
kalau bisnis milik anda, milik kita, mari kita wujudkan “Mimpi ini” judul Pidato yang dikumandangkan Marthin
Luther King, JR “I Have a dream” Now this
is your dream, this my dream, go, go, we shall overcame. Ancaman/gangguan (threats), pasti ada untuk sebuah perjuangan suci, tantangan itu
baik dari dalam mapun dari luar.
Merujuk
dari dua konsep yang perlu di dalami lebih jauh, diexplore lebih jauh, tetapi
saya yakin bahwa hal ini bisa berhasil. Ada dua contoh yang ingin saya tunjukan
disini. Pertama kesuksesan seorang dr. Aloysius Giay (direktur RSUD Abepura)
sebagai representasi Wilayah Adat Mee Pago dan Kiloner Wenda (yang saat ini membangun
ubi jalar sebagai makanan pokok masyarakat pegunungan untuk berbagai bahan
makanan kebutuhan pokok manusia, yang saat ini di dukung penuh oleh Oxfam
Internasional) sebagai representasi La Pago.
Aloysius Giaya adalah Alumnus S2 lulusan Kedokteran Universitas
Airlangga Surabaya. Dia telah membuktikan kemampuannya dan membawah RSUD
Abepura dalam kesukseskan manajemen yang hari ini kita dapat menyaksikannya. Sebelum
dia memimpin RSUD ini, sebelumnya manajemen pengelolahannya sangat buruk
sekali, bahwa anak saya yang tertua pun meninggal di rumah sakit ini pada hal
mungkin bisa disebuhkan dalam konteks pemikiran Galtung kekerasan potensial.
Bukan berarti dalam kepempinan Giay tidak ada yang meninggal, bukan itu yang
dimaksudkan, tetapi yang dapat di lihat adalah pengelolahan manajemen rumah
sakit, menurunkan angka kematian, pembangunan infrastruktur, dan mungkin juga
kesejahteraan staf di RSUD Abepura. Suatu bukti kesuksesan, kuncinya ada tiga:
pertama skill individu, kewenangan, dan anggaran. Demikian halnya dengan Kiloner Wenda, hari ini
dia telah merekrut kebih dari 11.000 petani ubi menurut Kiloner Wenda di
seluruh Kota Wamena, dia sedang mempunyai konsep berlian untuk membangun
industry ubi sebagai makanan pokok untuk wilayah pegunungan, bahkan untuk Papua-sayang
pemerintah di wilayah ini belum banyak memberikan support kepadanya untuk
mebangun bisnis ubi jalar sebagai warisan budaya yang telah berumur 3.000 tahun
itu.
Merujuk
pada upaya anak negeri yang sedang ditujukan di atas, maka konsep sederhana
dalam membawah noken sebagai satu komditi unggulan dalam kerangka kearifan
local yang telah mendapat pengakuan dunia, mestinya dapat dilakukan. Demikian
halnya dengan konsep membangun demokrasi bertahap dalam membangun system
nasional dan menempatkan noken dalam konteks ekonomi, saya yakin satu dari 16
Kabupetan di wilayah Mee Pago dan La Pago dapat melakukannya. Jika ada yang
membaca Opini ini, semoga saja.
Saya
berharap tulisan ini ada anak muda/i La Pago dan Mee Pago bacakan kepada
Pemerintah Anda dan Mama Anda.
**Penulis adalah Wakil Direktur Lembaga
Intelektual Tanah Papua dan Aktifis HAM pada Baptis Voice.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar