By. Pares L.Wenda
Setidaknya dapat dikatakan bahwa konflik Timika antara Suku Dani dan Suku Moni adalah pengulangan dari konflik konflik di masa lalu yang kemungkinan dihidupkan kembali. Namun juga merupakan bagian dari scenario konflik sistemn noken Jilid I dalam masa pileg di Provinsi Papua. Kita semua tahu peta konflik wilayah yang sangat rentan untuk memicu konflik baru terjadi di Tanah Papua.
Saat ini telah mamasuki masa-masa kampanye, setelah dua tiga bulan lalu, di Provinsi Papua berada dalam perdebatan tentang system noken yang cukup menyita energy, dan perhatian publik di daerah ini dari berbagai pihak. Baik politisi, pemimpin daerah, akademisi, pemerhati sosial politik, praktisi hukum, bahkan diskusi lebih lanjut banyak dilakukan pengguna media sosial terutama di facebook.
Setidaknya pernyataan terakhir datang dari Kepala Kantor Komnas HAM Provinsi Papua (lihat. Frizt Ramandey. http://bintangpapua.com edisi 13 Maret 2014) dan (Debora Mote. http://bintangpapua.com edisi 15 Maret 2014). Fritz Ramandey dalam kapasitasnya sebagai Kepala Komnas HAM Perwakilan Papua mengatakan bahwa “Sistem Pemilu hanya ada satu, yaitu system pemilu yang diatur secara nasional, dan karena itu jangan lagi ada istilah baru seperti istilah system noken. Jika demikian kita membuat system baru di dalam system pemilu yang di atur secara nasional”, sementara Debora Mote, Anggota DPRP dari wilayah pemilihan 3 ini mengatakan bahwa system noken dengan cara system ikat telah merugihkan banyak perempuan yang menjadi anggota Legisltive, karena system ikat itu hanya diperuntukan bagi kaum Adam bukan untuk kaum Hawa. Ada tiga perspektif yang mucul disini, pertama system pemilu nasional, system noken dan sostem ikat. Mari kita lihat siapa yang usung 3 sistem di atas.
Pertama system pemilu diatur secara nasional dan merupakan amanat konstitusi Negara, yang diatur kemudian di dalam UU Pemilu dan eksekutornya adalah KPU secara independent dari Pusat hingga ke daerah-daerah. Dalam konteks pengisian suara dalam system pemilu nasional digunakan kotak suara, box berukuran segi 4 dengan lebar 40cm, panjang 40cm dan tinggi 60 cm. harga produksi sampai pengiriman ke Kab/Kota seluruh Indonesia kira-kira Rp.145.000 per kotak suara. (lihat: http://www.kpu.go.id/index.php?option=com_content&task=view&id=4987).
Kedua system Noken, system noken dalam sejarahnya mulai digunakan di wilayah pegunungan tengah sejak 1977/78. Tetapi system noken menjadi soal ketika putusan Nomor: 47-48/PHPU.A-VII/2009. Tertanggal 09 Juni 2009 dari kasus Yahukimo pada Pileg 2009 silam. Dan selanjutnya sengketa Pemilukada di wilayah pegunungan tengah dengan menggunakan system noken 100% penyelesaian akhir di MK dan yang paling terakhir adalah Pilgub Papua 2013, ini telah masuk dalam kategori konflik structural dan actual dengan beberapa kasus yang nampak. System noken diperkenalkan oleh MK berdasarkan kasus bukan diatur dalam tata normaa hukum. Sehingga dalam system hukum Negara Indonesia, sesuatu yang bersifat kasuistis tidak bisa menjadi norma hukum tetap. Meskipun disatu sisi konstitusi Negara menghargai kearifan lokal, dan karena itu dengan kasus ini tidak dapat dijadikan sebagai dasar hukum, mesti di atur dalam norma hukum tetap untuk memenuhi amanat konstitusi tentang kearifan local dimaksud. Ini jelas, kalau ada yang berpandangan lain dari alur di atas, itu hanya statemen politis saja.
Dan sejauh ini KPUD membayar berapa kepada mama-mama pemilik noken, apakah noken dihargai setara dengan harga satu “Kotak suara” atau hanya diminta secara sukarela kepada mama-mama untuk mendukung proses demokrasi. Ini mungkin satu soal yang perlu diteliti, kalau tidak pernah ada transaski KPUD dan mama-mama dan tekan kontrak pembuatan noken untuk digunakan dalam pemilu maka disini sudah pasti bepotensi “KORUPSI UANG NEGARA” dan terjadi PEMBODOHAN terhadap mama-mama pemilik NOKEN di wilayah pengguna system noken. PEMBODOHAN DEMOKRASI DAN PEMBODOHAN TERHADAP BISNIS KEWIRAUSAAN mama-mama Papua. Jadi system noken yang dimaknai disini adalah wadah noken yang digunakan sebagai pengganti kotak suara di daerah pengguna system noken.
Ketiga system ikat, dalam pernyataan ketua MRP Timotius Murib ketika diminta sebagai nara sumber dari sengketa pilgub Papua Maret 2013 dihadapan hakim MK, ia mengatakan bahwa dipegunungan dikalangan orang Lani dikenal dengan “system lidi” dalam penghitungan mate-matika, ketika masyarakat Lani membayar maskawin, atau membayar ganti rugi, atau membayar biaya perang dari akibat perang itu sendiri kepada para pihak yang korban, entah korban nyawa maupun harta benda dari pihak pelaku. Pernyataan Timotius Murib itu benar, karena yang saya ketahui dalam kebudayaan orang Lani hanya mengenal 3 huruf, dan membantu jumlah barang yang dibayar dalam jumlah besar dihitung menggunakan system lidi “lidi adalah sebuah kayu berukuran kecil-kecil yang dibawah kemudian saat menghitung kayu-kayu itu dipatahkan” dan mulai menghitung sejumlah barang yang dibayarkan dan siapa dapat berapa itu dilakukan. System ini masih digunakan pada tahun 1980-1990-an waktu saya masih SD, bahkan waktu saya masih duduk di SD INPRES Tiom, kami diminta oleh guru mate-matika, membawah lidi yang sudah dipotong dalam ukuran tertentu untuk dibawah sebagai alat bantu dalam belajar mate-matika. Namun cari ini diklaim oleh wilayah Mee yang membedakan system noken dan system ikat dalam pemilukada di wilayah itu. Bagaimana system ikat dalam wilayah adat Mee perlu ada riset khusus. Tetapi di wilayah adat La Pago minimal seperti yang telah saya sampaikan disini.
Dari tiga system di atas dapat terlihat bahwa dua system berasal dari cara budaya lokal dan satu berasal dari system nasional terutama dalam “system kotak suara”. System kotak suara secara nasional telah diatur dalam UU. (lihat contoh UU: http://hukum.unsrat.ac.id/inst/kpu_27_2008.pdf) . Sementara dua system tidak diatur atau tidak diakomodir dalam UU Pemilu. Dia berjalan alami tanpa ada regulasi. Dua system itu kemudian menjadi berpotensi konflik karena “klaim atas satu kampung, distrik, satu tempat atau lokasi pemungutan suara itu diklaim oleh seorang big man, atau mengatas namakan big man tanpa pemungutan suara langsung diklaim bahwa daerah A, kampung B, atau tempat pemungutan suara C adalah milik kandidat A (dalam pilpres atau pemilukada) dan milik si A, B atau C dalam pemilihan Legislatif. Inilah yang berpotensi konflik karena tanpa pemilihan one man, one vote sudah diklaim bahwa daerah ini milik si A, B dan C dan seterusnya. Contoh kongkrit adalah terbunuhnya seorang Yason Karoba di Distrik Gilimbandu, Kabupaten Tolikara. Beliau dibunuh akibat klaim suara seperti di atas.
Kalau konflik Timika terus dipertahankan dan memasuki 9 April 2014. Maka ada dua kemungkinan yang akan terjadi. Pileg ditunda atau system noken yang diberlakukan, yang nantinya berpotensi konflik ganda. Kalau pemerintah sudah mengamankan tetapi yang terjadi pasti competitive negociation seperti yang selama ini pemerintah atau aparat keamanan lakukan. Pemerintah jarang melakukan penyelesaian konflik dengan pendekatan peacebuilding tetapi tetapi selalu dengan pendekatan peacemaking atau juga peacekeeping dengan pendekatan teknik competitive negotiation yang pada akhirnya konflik selalu kembali muncul entah itu di Timika atau konflik di daerah lain di Papua.
Supaya tidak terjadi konflik dalam system noken, karena di duga kuat bahwa system noken akan berlaku di wilayah pegunungan termasuk Timika untuk beberapa distrik yang jauh dari Ibu Kota Mimika, maka saran saya adalah control media sangat dibutuhkan disini, tetapi juga aparat harus netral dalam mengawal proses demokrasi dalam pileg ini agar masyarakat dapat menyalurkan hak suaranya, meskipun dengan menggunakan system noken. Demikian halnya Panwas yang paling diberitanggungjawab untuk mengawasih agar kawal benar prose pileg di Papua.
Apa yang terjadi di masa lalu adalah pembelajaran berharga bagi pembangunan demokrasi di Papua. Namun pasti akan muncul terminology lama bahwa biaya besar, daerah terisolasi akan mewarnai proses demokrasi kali ini. Kalau semua itu masih ada maka pembangunan demokrasi di Papua sebenarnya berjalan ditempat, bukan mengalami kemajuan.
Akhirnya selamat melaksanakan pileg dan selamat buat anda kontestan pemilu legislative dan kawal suara anda agar hak anda untuk duduk di DPRD, DPRP, DPR RI dan DPD RI terakomodir. Tidak dimanipulasi oleh PPS, KPPS, PPD, KPUD dan Pemerintah Daerah.
Penulis adalah Wakil Direktur Lembaga Intelektual Tanah Papua dan Sekretaris Baptis Voice.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar