Editor's Vids

Sistem Noken Akan Selalu Memakan Korban

 Penulis : Pares L. Wenda | Sabtu, 25 Januari 2014 18:53

Dalam sejarahnya sistem noken, setidaknya digunakan sejak pemilu Legislatif dan Presiden Indonesia pada tahun 1977/1978 di wilayah pegunungan tengah Papua. Pertimbangan penggunaan Sistem Noken menurut Alex Hesegem (mantan wakil gubernur Papua 2006-2011), ada dua pertimbangan utama.

Pertama, pada waktu itu masyarakat di pegunungan sebagian besar masih dalam kondisi buta huruf, buta warna.

Kedua, kondisi geografis yang sulit dijangkau oleh pemerintah daerah, alasannya pada waktu itu wilayah pemerintah di pegunungan tengah hanya ada di kabupaten pegunungan yaitu kabupaten Jayawijaya ibu kota Wamena pegunungan bagian timur, dan pegunungan barat di Paniai beribukota Nabire.

Kondisi obyektif hari ini di wilayah pegunungan Papua bagian timur maupun barat telah memiliki sejumlah kabupaten yang tumbuh bagaikan jamur di siang bolong dan usia anak gunung menimba ilmu hingga saat ini seusia dengan Integrasi Papua ke dalam Indonesia.

Sehingga orang-orang di Jakarta setidaknya harus berbangga bahwa hari ini gubernur dan wakil gubernur Papua dipimpin oleh didikan murni dari Indonesia. Baik pendidikan, sistem politik, hukum dan demokrasi semua ala Indonesia berbeda dengan gubernur dan wakil gubernur sebelumnya.

Istilah pemekaran adalah mendekatkan pembangunan kepada rakyat atau rentang kendali pembangunan yang jauh tadinya, dibawa sangat dekat dengan masyarakat di kampung harus diwujudkan dalam pelaksanaan demokrasi. Apa gunanya daerah otonom baru yang terlalu banyak di wilayah pegunungan hari ini. Kalau masih menggunakan terminologi wilayah geografis yang sulit, masyarakat masih terbelakang, masih buta aksara, buta warna.

Hal itu merupakan istilah kolonial. Kalau pemerintah hari ini masih pakai istilah tersebut, maka pemerintah yang ada adalah pemerintahan kolonial yang hari ini sedang menindas dan berdansa-dansa di atas penderitaan rakyat dan bangsa Papua.

Dalam visi Gubernur Enembe, "Papua Bangkit dan Sejahtera" jangan hanya dilihat pada sektor ekonominya, satu indikator keberhasilan pembangunan adalah terlaksananya demokrasi, hukum dan politik yang menghargai HAM. Dalam konteks penghargaan atas HAM tersebut, maka dalam dunia politik dan demokrasi serta hukum, di wilayah pegunungan Papua hak kedaulatan yang mendasar dalam konteks ini untuk memilih dan dipilih merupakan hak kesulungan mereka yang harus diberikan.

Jangan hanya karena Sistem Noken suara rakyat digadaikan oleh PPD, KPPS, KPU, Panwas, Pemerintah daerah, maka sesusungguhnya kita telah gagal, bukan hanya kita melanggar HAM orang lain, tetapi kita tidak membangun demokrasi, hukum dan perpolitikan di Papua. Dan itu menentang semua instrumen nasional dan Internasional dalam pembangunan demokrasi lokal, nasional dan Internasional.

Sistem Noken menurut kajian Emilie Durkheim (Tinjauan Sosio-antropologis) dalam buku Sistem Noken Demokratiskah? yang ditulis oleh Piter Ell, at al (2013:80-82), Emilie membagi masyarakat dalam dua kelompok yaitu kelompok solidaritas mekanis dan kelompok solidaritas organis. Di mana pendekatan kelompok masyarakat solidaritas mekanis lebih kepada masyarakat masih menganut sistem kebersamaan, sistem feodal, sementara solidaritas organis adalah masyarakat modern yang lebih mementingkan invidualitas.

Dalam konteks ini Piter Ell, at al melihat bahwa masyarakat Papua di pegunungan masih dalam taraf kelompok masyarakat solidaritas mekanis. Sehingga Sistem Noken saat ini masih relevan untuk dilaksanakan di wilayah pegunungan tengah Papua.

Noken dalam legal standing menurut Piter Ell, at al (2013:83-89) memuat tentang pasal ayat yang berhubungan dengan amanat konstitusi UUD 1945 tentang kearifan lokal, instrumen internasional tentang Pengakuan Noken sebagai warisan budaya dunia, kemudian juga mengutip pandangan Soemitro tentang ciri-ciri hukum tradisional dan Soekanto tentang ciri-ciri hukum modern. Serta pandangan Yanis Maladi agar hukum tradisional harus diadopsi dalam hukum Nasional.

Sementara itu, Piter Ell, at al (2013:90-112) memuat tentang putusan MK di Yahukimo, beberapa kabupaten di wilayah pegunungan dan keputusan MK tentang Pilgub Papua tahun 2013 yang intinya menunjukan putusaan MK menggunakan sistem noken.

Kesimpulan dari tulisan tersebut sepertinya Piter Ell, at al mendukung kalau Sistem Noken layak digunakan dalam pesta demokrasi seperti Pileg, Pilpres dan Pemilukada khususnya di wilayah Papua yang menggunakan sistem noken. Piter Ell, at al nampaknya mengabaikan satu hal bahwa masyarakat Papua gunung hari ini sedang menuju 50 tahun lebih dalam mengikuti perubahan yang sedang terjadi di wilayah itu oleh karena mengikuti dinamika pembangunan dan pengaruh luar lainnya.

Sehingga penerapan pandangan Emilie masih perlu dikaji di masa depan, tetapi ini penting dalam rana membangun wawasan anak bangsa di pegunungan, sehingga pada waktunya terjadi perubahan-perubahan sesuai dengan perubahan arus pembangunan di wilayah itu.

Mari kita bandingkan dengan tulisan "Pilgub Papua Tidak Demokratis" yang ditulis oleh Pares L. Wenda, at al (2013:174-184). Dalam tulisan itu, ia membahas bahwa Sistem Noken bukan budaya orang pegunungan, tetapi Sistem Noken lahir sejak 1971 sesuai pernyataan ketua MRP Timotius Murib pada dengar pendapat di MK sebelum putusan akhir Pilgub Papua.

Dalam implementasi juknis sebagai turunan dari keputusan MK KPU Provinsi Papua diberikan kepada KPU kabupaten/kota sebelum 17 hari masuk pemilihan Pilgub Papua, sehingga sosialisasi juknis diduga tidak dilaksanakan oleh KPU yang daerah menggunakan sistem noken, kalau pun dilaksanakan tentu tidak semua daerah dijangkau dengan alasan klasik: waktu, biaya dan wilayah geografis yang sulit.

Keputusan MK adalah keputusan kasuistis, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum pelaksanaan Sistem Noken di Papua. Noken telah menjadi warisan dunia, sehingga noken diharapkan tidak menjadi ajang perebutan kursi politik legisltif, dan pemilihan kepala daerah, keputusan sistem naken selain kasuistis, juga keputusan top down atau keputusan yang datang dari atas oleh karena ada masalah sengketa. Seharusnya supaya ia menjadi kekuatan hukum tetap dalam implementasinya sebagai sebuah karifan lokal, maka harus datang dari pemilik Sistem Noken tersebut. Sehingga ia dapat memenuhi amanat konstitusi UUD 1945.

Lalu, bagaimana prosesnya dan siapa yang membuat draf itu?. Dalam konteks ini, dalam buku itu disarankan, sebaiknya Dewan Adat Papua yang membuat draf Peraturan Daerah tentang Sistem Noken yang kemudian diserahkan kepada Pemerintah melalui MRP sebagai lembaga kultural untuk dibahas, selanjut diserahkan kepada DPRP, kemudian diajukan ke pemerintah untuk ditetapkan dan kalaupun ada masalah di kemudian hari, maka tentu aka ada perubahan-perubahan sesuai dinamika demokrasi, politik dan hukum.

Dari dua referensi di atas perlu diapresiasi bahwa setidaknya telah mulai ada perdebatan dalam rana karya ilmiah, dimana tadinya hanya ada di wilayah hukum, wilayah media. Diharapkan riset independen yang merujuk pada perbaikan Sistem Noken di masa depan terus dilakukan. Apakah setelah itu akan tetap sebagai satu kearifan lokal atau setelah dikaji ia berpotensi menjadi konflik dan karena itu ditiadakan merupakan masalah lain.

Fakta bahwa pendekatan yang dimaksud Emile dalama solidaritas mekanis yang dimaksudkannya benar-benar tidak terjadi, kepala suku tidak berfungsi di saat Pilgub Papua. Kepala suku telah menjadi scapegoat. Atas nama sistem noken, kepala suku yang melakukan pencoblosan surat suara adalah kepala distrik, kepala kampung, petugas KPPS, PPD di lapangan, karena itu sebenarnya pendekatan yang dimaksudkan Emilie adalah benar tetapi dalam tataran implementasi tidak terjadi.

Mengapa tidak terjadi, karena sistem politik, demokrasi dan hukum mendorong untuk tidak terjadi karena diakui bahwa telah dibajak oleh golongan berduit, penguasa dalam memenuhi nafsu mencapai tujuan mereka.

Dalam Pileg dan Pilpres 2014, peluang untuk menggunakan Sistem Noken berpotensi untuk dilakukan di wilayah pegunungan. Alasannya, pemerintahan yang ada hari ini sudah mengatakan bahwa di wilayah pegunungan berpotensi tetap menggunakan sistem noken, para politisi dari wilayah-wilayah itu juga tidak berniat untuk mendorong hal ini menjadi satu permasalahan serius.

Mereka tidak memandang Sistem Noken berpotensi konflik, dahulu tidak dipersoalkan, tetapi hari ini masyarakat sudah mengerti dan sedang mempersoalkan. Karena itu, untuk menghindari kasus Yason Karoba di Tolikara, hendaknya para politis bersikap hati-hati khusus di wilayah yang menggunakan sistem noken.

Karena kepala kampung,  PPS, PPD, KPPS dan KPU akan bermain di sana. KPU Provinsi sejak dilantik hingga hari ini hanya sibuk dengan urusan yang lain, masalah Sistem Noken diabaikan. Sistem Noken dibahas ramai lagi ketika terjadi Pilgub Papua.

Maka dalam jangka panjang untuk menghindari korban baik secara psikologis maupun fisik dalam demokrasi, hukum dan perpolitikan Papua, Sistem Noken harus didiskusikan. Dan, apa untung ruginya dalam jangka panjang mesti dibahas terus menerus.

Pares L. Wenda adalah Sekretaris Baptis Voice, Wakil Direktur Lembaga Intelektual Tanah Papua.

Sumber:http://majalahselangkah.com/content/sistem-noken-akan-selalu-memakan-korban

Related News

Tidak ada komentar:

Contact Us

Stats

Archive

Recent News

Video Of Day

Send Quick Massage

Nama

Email *

Pesan *

Catwidget2

Catwidget4

Catwidget3

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Entri Populer

Search This Blog

Popular Posts

Entri Populer

Entri Populer

Entri Populer