Editor's Vids

BUDAYA NOKEN, PENGAKUAN KONSTITUSI ATAS DEMOKRASI GAYA PAPUA

Senin, 10 -11 Februari 2014 13:17
    Oleh : Benny Sweny

    Membaca artikel dengan judul “Sistem Noken Akan Selalu Memakan Korban” yang ditulis oleh Pares L.Wenda dalam Harian Cenderawasih Pos terbitan Selasa, 28 Januari 2014,  yang juga menyitir dua buku tentang noken yang sudah dipublisir yakni buku “Sistim Noken demokratiskah”  karangan Pieter Ell/Theo Kosay, dkk dan”Pilgub Papua tidak demokratis” karangan Pares L.Wenda, mendorong saya mencari kedua buku tersebut. Saya sudah membaca buku “sistim noken demokratiskah” karena diberikan secara langsung oleh penulisnya Theo Kosay yang menjadi narasumber dalam diskusi tentang noken yang diselenggarakan Papua Democractic & Research Institute pada desember 2013 yang lalu.Sedangkan buku “Pilgub Papua tidak demokratis” belum saya miliki, tetapi setidaknya karena buku tersebut diltulis oleh Pares L.Wenda maka asumsi saya bahwa summary buku tersebutlah yang ditulis dalam Harian Cepos (28/01/2014).
    Diskursus tentang noken ini menjadi menarik karena dalam beberapa surat kabar di Papua memuat pernyataan dan pandangan dari berbagai kalangan yang pro dan kontra tentang sistem noken ini.
    Saya sendiri menyaksikan secara langsung pemungutan suara dengan noken pada hari pemungutan suara Pemilu Gubernur/Wakil Gubernur Papua 29 Januari 2013 di Distrik Kuwari, Kabupaten Tolikara. Pada waktu itu saya bersama dua anggota KPU Provinsi Papua (Ferry Kareth & Tjipto Wibowo)mendampingi dua anggota KPU RI (Arief Budiman dan Juri Ardiantoro) dan satu anggota Bawaslu RI (Daniel)yang seminggu sebelumnya meminta kepada saya guna mengatur kunjungannya pada hari pemungutan suara pemilu gubernur ke TPS yang menggunakan noken.

  • Dengan Susi Air menuju Karubaga, kami transit sebentar di kediaman Bupati Tolikara Usman Wanimbo, lalu dengan menggunakan beberapa mobil estrada menuju Distrik Kuwari. Dalam perjalanan mendekati tempat pemungutan suara, kami meliwati kelompok-kelompok masyarakat yang berjalan kaki berbondong-bondong menuju TPS. Di tempat itu sudah dibangun stand-stand yang berbentuk bilik, yang didalamnya diduduki oleh beberapa orang yang saya tanyai adalah petugas KPPS. 

  • Dalam stand yang difungsikan sebagai TPS itu,  melihat berbagai logistik pemilu untuk TPS seperti Kotak Suara, Surat suara, formulir-formulir, mulai dari C1, C2 dan lampirannya. Didepan stand tersebut tampak 6 (enam) tiang yang ditanam dengan noken tergantung diatasnya. Pada bagian depan sekali, tampak sekelompok masyarakat sedang melaksanakan aktivitas bakar batu, dan ada beberapa ekor babi yang masih hidup terikat didekatnya. Setelah masyarakat sudah datang dalam jumlah besar, terlihatlah mereka berbicara satu sama lain dalam bahasa daerah, dan kemudian tampil kedepan seseorang yang rupanya adalah kepala suku Distrik Kuwari, Tior Wanimbo yang menyampaikan orasi singkatnya bahwa pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur merupakan suatu hal demokrasi dan pemimpin di Tanah Papua sudah terbukti, apalagi ada pemimpin yang berhasil dari Tolikara telah membuktikan kepada masyarakat. Namun, di antara pemimpin itu hanya diberikan suara kepada pasangan nomor ururt 3, yaitu Lukas Enembe dan Klemen Tinal. “Saya selaku kepala suku mewakili masyarakat di Distrik Kuwari hanya memberikan suara kepada pasangan nomor urut 3 karena cuma dia bagi kami yang bisa memimpin Papua ini,” katanya.
    Setelah itu, kepala suku dibantu petugas PPD, mengambil salah satu surat suara lalu ditusuk oleh kepala suku dan dimasukan kedalam noken nomor urut 3 sebagai simbol bahwa semua pemilih yang terdaftar di TPS-TPS tersebut memberikan pilihannya kepada pasangan nomor urut 3 dengan disambut tepukan tangan masyarakat yang hadir serta teriakan, “wa......wa.....wa.....” Tugas selanjutnya rupanya dilaksanakan oleh petugas KPPS dengan mencoblos dan menuangkan hasil coblosannya kedalam formulir C1 dan lampirannya (Berita Acara dan Sertifikat Hasil Perhitungan Suara).

  • PPD lalu memberikan kesempatan pada Arief Budiman untuk menyampaikan kesan pesan atas kunjungannya di Distrik Kuwari, dan komentar Arief yang juga Korwil KPU RI untuk Provinsi Papua menyampaikan kepada masyarakat, pencoblosan harus dilakukan sesuai dengan aturan baik itu secara sistem noken maupun sistem pencoblosan langsung dan siapa pun yang menjadi pemenang harus didukung tanpa ada pertengkaran atau konflik di mana-mana.

  • Lanjutnya, pemilihan gubernur ini bila memenuhi 30 persen suara maka hanya dilakukan satu kali putaran, namun jikalau tidak memenuhi 30 persen maka akan dilakukan putaran kedua. Namun, dihimbau kepada masyarakat kalau satu putaran atau dua putaran tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai aturan. “Jangan ada konflik, karena kita bertujuan untuk membangun Papua ini lebih baik dan harus mendukung siapa Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih,”  harapnya.

  • Arief Budiman menutup kesan pesannya didepan masyarakat dengan menyampaikan, “Kita sudah saksikan sendiri bahwa masyarakat tidak dipaksakan, bahkan kantong Noken sendiri sudah digantung 6 kandidat dan semua mereka memilih hanya satu yaitu nomor urut 3 dan itu sudah layak karena masyarakat tidak dipaksanakan tapi mereka sendiri yang memilihnya,” ujarnya.

  • Setelah itu, karena saya kebelet untuk buang air kecil, saya pergi kebelakang stand-stand TPS yang membelakangi tebing untuk melihat-lihat apakah ada tempat untuk buang air kecil, pada saat dibelakang stand TPS tersebut, saya bertemu dengan dua anak seumuran 17 tahun, lalu spontan saya bertanya pada anak tersebut, “Ade, ko pilih pasangan nomor urut berapa ?” , jawab anak itu, “nomor 3 kaka”. Saya lanjut dengan pertanyaan berikut, “kalo yang ko tau, pasangan nomor urut 3 itu siapa ?” jawab dia, “tidak tau kaka”. Ketika saya bertanya pada anak yang saya temui berikutnya di belakang stand-stand TPS dengan pertanyaan yang sama, jawabannya sama pula.

  • Komentar dari Arief Budiman ini sangat jelas memahami filosofi noken yang menjadi pranata budaya masyarakat dalam menyalurkan hak pilihnya secara damai dan terbuka. Saya sendiri tidak mendengarkan komentar dari Daniel (Bawaslu RI) , tetapi dari body language-nya saya merasakan Daniel tidak setuju dengan sistem noken itu sendiri. 

  • Dalam perjalanan balik ke bandara Karubaga, dalam hati saya bertanya mengapa kedua anak yang saya temui dibelakang stand tadi, dengan jelas dan cepat menyebutkan pasangan nomor urut 3 sebagai pilihannya, tetapi malah tidak mengenal siapa yang dipilih. Apakah dalam musyawarah noken tersebut tidak dibahas tentang siapa figur yang akan dipilih sehingga mereka tidak tahu. Ataukah bagi mereka siapa yang dipilih tidaklah penting mereka ketahui, dibandingkan mengamankan keputusan bersama masyarakat dengan kepala suku. Apakah dalam musyawarah noken sebelum pemilihan, ada perbedaan pendapat tentang siapa yang harus dipilih dan mengapa pilihan harus dijatuhkan pada calon tertentu. 

  • Dalam penerbangan pulang dari Karubaga ke Sentani, salah seorang wartawan bercerita kepada saya tentang  adanya insiden yang tidak jauh dari Distrik yang kami kunjungi yakni di Distrik Gilubandu, yang mana seorang Anggota DPRD KabupatenTolikara, Husia Yosia Karoba, yang dikeroyok hingga tewas. Yang pasti bahwa pilihan Karoba yang merupakan kader Golkar berbeda dengan mayoritas masyarakat di Distrik Gilubandu yang menyalurkan hak pilihnya ke pasangan nomor urut 3. 

  • Ini menimbulkan pertanyaan baru bagi saya, apakah memang dalam musyawarah noken, perbedaan pandangan harus tunduk pada mayoritas masyarakat atau kemauan kepala suku. Tetapi, pertanyaan selanjutnya kalau minoritas tunduk kepada mayoritas dalam sistem noken, harusnya pasangan nomor urut 3 sapu bersih jumlah perolehan suara di Kabupaten Tolikara. Tapi kalau dilihat semua pasangan memperoleh suara seperti pasangan nomor urut 1, Noakh Nawipa sebanyak 1 suara. Untuk Pasangan Nomor urut 2 Kambu-Pakage sebanyak 76 ribu suara, untuk pasangan nomor urut 3 Lukas Enembe-Klemen Tinal sebanyak 155.413 ribu suara, untuk pasangan nomor urut 4 Welington Wenda-Weynad Watory sebanyak 3.497 suara, pasangan nomor urut 5 Alex-Marthen nol dan pasangan nomor urut 6 HMS-YOP sebanyak 6.017. 

  • Pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas, saya kelompokan pada 2 pertanyaan besar yakni apakah sistem noken adalah budaya masyarakat pegununggan dan apakah landasan konstitusional sistem noken sehingga dapat diterapkan dalam Pemilu 2014.

  • Atau juga sesuai dengan background saya sebagai lulusan Antropologi Uncen dan pernah bekerja di KPU, maka tulisan ini akan saya ingin secara singkat mengulas noken dari dua perspektif, yakni noken dari pespektif antropologi dan noken dari perspektif konstitusi.

    1. Noken dari perspektif Antropologi
    Bila dilihat konsep antropologi tentang kebudayaan yang dibagi dalam tiga wujud (Koentjaraningrat : 1981 : Hal 186 ), yakni :
    1. Sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai, norma , peraturan, dan sebagainya,
    2. Sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat,
    3. Kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia. Wujud yang pertama bisa dikatakan sebagai wujud dari sistem kebudayaan atau Cultural system. Sedangkan wujud yang kedua adalah sebagai wujud dari Sistem sosial atau Social System. Wujud yang ketiga adalah bisa dikatakan sebagai kebudayaan fisik.

    Noken dapat dikatakan merupakan perwujudan ketiga wujud budaya tersebut karena noken sudah menjadi suatu sistem nilai dan norma yang dilakukan dalam suatu aktivitas dan tindakan berpola dan terus-menerus (setiap tahun/setiap ada event Pemilu) dari suku-suku di pegunungan tengah yang menggunakan kantong atau tas kerajinan tangan khas Papua yang terbuat dari kulit kayu ini, untuk memilih Bupati/Wakil Bupati, memilih Gubernur/Wakil Gubernur, dan memilih wakilnya yang duduk di DPR, DPD, DPRP, dan DPRD. Noken menjadi suatu sistim yang berisi norma dan  mekanisme masyarakat adat untuk memilih/menentukan siapa calon yang paling pantas menduduki jabatan-jabatan formal dalam kompetisi Pemilu Legislatif/Pemilukada. 

  • Jauh sebelum pelaksanaan Pemilu/Pemilukada sudah dilakukan terlebih dahulu dengan musyawarah antara kepala-kepala suku dengan masyarakat. Masyarakat melakukan musyawarah untuk menentukan calon siapa yang akan dipilih sebagai Kepala Daerah/wakil kepala daerah dan atau partai apa dan siapa yang akan dipilih menjadi wakil mereka di parlemen.Dalam Musyawarah tersebut tentu ada perbedaan pandangan dan pilihan, tetapi kemudian masyarakat akan bermufakat untuk pilihan mana yang terbaik. Ada permufakatan yang menyerahkan semua pilihannya (baca: suara) ke calon tertentu, tetapi ada juga permufakatan yang membagi pilihannya (baca: suara) ke beberapa calon. Setelah dilakukan musyawarah, kepala suku ditugaskan untuk mewakili  masyarakat pemilih,menyampaikan kepada KPPS/PPS/PPD tentang kesepakatan yang sudah diambil dan kemudian mewakili masyarakat untuk melakukan pencoblosan.Lalu, surat suara yang sudah dicoblos tersebut dimasukkan ke dalam noken berdasarkan pilihan yang sudah disepakati.Sementara itu, masyarakat menyiapkan lubang yang cukup besar yang diisi dengan batu dan ditaruh babiserta umbi-umbian dan kayu bakar. Setelah babi dan umbi-umbian masak, maka mulailah rakyat berpesta ria.Bagi masyarakat suku-suku di pegunungan, pemilu itu identik denganpesta sukacita, sehingga bila ada perbedaan pandangan yang sebelumnya terjadi pada saat diadakan musyawarah antara kepala suku dengan masyarakat dalam menentukan pilihannya, dapat terbayar dan tidak meninggalkan permusuhan diantara mereka.
  • Noken merupakan budaya suku bangsa-suku bangsa yang mendiami wilayah adat La Pago dan Me Pago. Pada kedua wilayah ada ini didiami oleh.... suku bangsa yang  diantaranya Suku Dani, suku Yali, suku Nduga, Suku Mee, Suku moni, dan suku-suku lainnya. Suku-suku ini menganut  sistim kepemimpinanan “Pria Berwibawa”atau “The Big Man”yang sesungguhnya dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama dilakukan melalui musyawarah tetapi juga melalui keputusan berdasarkan otoritas kepala suku yang bersangkutan, yang sekaligus merupakan representasi politik dan masyarakatnya.

    1. Noken dari perspektif Konstitusi

  • Pemilihan model noken ini diakui menjadi tata cara yang sah dalampenyelenggaraan pemilu oleh Mahkamah Konstitusimelalui Keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 47-48/PHPU.A-VI/2009 tanggal 09 Juni 2009 terkait PHPU dari Kabupaten Yahukimo.

  • Dalam pengamatan saya, sejak 2009 sampai saat ini, semua Pemilukada Bupati/Wakil Bupati di Pegunungan menggunakan sistim noken. Mulai dari Pemilukada Jayawijaya, Pemilukada Paniai, Pemilukada Puncak Jaya, Pemilukada Tolikara, Pemilukada Mamberamo Tengah, Pemilukada Lani Jaya, Pemilukada Nduga, Pemilukada Yalimo, Pemilukada Intan Jaya, dan Pemilukada Deiyai. Semua Pemilukada Kabupaten di pegunungan ini bermuara di MK, dan tidak ada keputusan mahkamah yang bertentangaan dengan keputusan MK nomor 47-48/PHPU.A-VI/2009 tersebut.

  • Yang terakhir dalam Pemilukada Gubernur/Wakil Gubernur Papua yangmana sistim noken juga dipersoalkan di  MK , namun dapat kita lihat dalam pertimbangan keputusan MKNomor 14/PHPU.D-XI/2013(hal : 194) dimana  “Menurut Mahkamah proses penerbitan Surat Keputusan KPU Provinsi PapuaNomor 01/Kpts/KPU Prov.030/2013 tentang Petunjuk Teknis Tata CaraPemungutan Suara Dengan Menggunakan Noken Sebagai Pengganti Kotak Suara telah sejalan dengan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor47-81/PHPU.A-VII/2009 tanggal 9 Juni 2009, karena mekanisme pemungutan suara berdasarkan kesepakatan masyarakat tersebut didasarkan pada hukum adatyang berlaku di daerah setempat dan tidak diatur dalam Undang-Undang in casuUndang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Selain itu,meskipun mekanisme pemungutan suara dengan cara kesepakatan masyarakat tersebut tidak diatur secara ekplisit dalam Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, namun konstitusi memberikan pengakuan danperlindungan terhadap masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya.Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya diaturdalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara mengakui danmenghormati kesatuan-kesatuan hukum masyarakat hukum adat beserta hak-haktradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat tersebut juga diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b UU MK yang pada pokoknya menyatakan,kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Dengan demikian menurut Mahkamah prosespenerbitan Surat Keputusan KPU Nomor 01/Kpts/KPU Prov.030/2013 tentangPetunjuk Teknis Tata Cara Pemungutan Suara Dengan Menggunakan Noken Sebagai Pengganti Kotak Suara telah tepat dan benar secara hukum”.

  • Putusan MK dapat  dikatakan progresif karena putusan ini merupakan putusan pertama yang dikeluarkan oleh MK dalam pengakuan terhadap masyarakat adat. Dalam Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 2, Juli 2009, Jakarta, yang diterbitkan  Mahkamah Konstitusi, Ahmad Sodiki salah seorang hakim konstitusi mengembangkannya lebih luas dengan gagasan konstitusi pluralis. Menurutnya, karakter konstitusi Indonesia adalah konstitusi pluralis yang seharusnya bisa dikembangkan lebih jauh untuk mengakui keberagaman yang ada di dalam Republik. Dengan pengakuan atau “rule of recognition,” konstitusi Indonesia dapat menjadi konstitusi yang hidup dan responsive terhadap keberagaman (responsiveconstitution). 

  • Dari pengalaman sebagaimana saya uraikan diatas pada saat kunjungan ke Tolikara, maupun kajian singkat saya tentang noken dari perspektif antropologi dan noken dari perspektif konstitusi maka dapat disimpulkan bahwa sistim noken merupakan budaya masyarakat di wilayah adat la pago dan me pago yang sudah diakui secara konstitusional.

  • Tentu ada kelemahan dan kekurangan dari sistim noken ini karena tidak diatur secara tertulis, dan pada beberapa suku bangsa atau komunitas berimprovisasi sehingga terdapat perbedaan teknis pelaksanaanya.
    Yang saya maksudkan disini bahwa sistim noken yang menghasilkan output hasil kesepakatan yang disampaikan oleh kepala suku tersebut, harus disambung dengan mekanisme formal oleh petugas KPPS dalam mengkonversi penyampaian kepala suku kedalam Berita Acara dan Sertifikat hasil  perhitungan suara.
    Oleh karena itu, sudah saatnya kita tidak perlu berpolemik tentang setuju atau tidak setuju terhadap budaya noken, karena suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, saya berkeyakinan bahwa sistim noken akan tetap diterapkan dalam Pemilu legislatif 2014 di Dapil Papua 3, Dapil Papua 4, Dapil Papua 5, dan Dapil Papua 6 yang merupakan Dapil di wilayah adat La pago dan Me Pago ini.

  • Sebagai pemerhati demokrasi, saya ingin menyarankan beberapa hal kepada penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu),  yakni :

  • 1. Berkaca dari petunjuk teknis noken dalam Pemilu Gubernur/Wakil Gubernur Papua yang lalu, tanpa menunggu KPU RI (yang mungkin saja beberapa anggota apriori terhadap sistim noken), KPU Provinsi dapatmen-develope dan membuat decision suatu petunjuk teknis tentang tata cara pemungutan suara dengan noken untuk Pemilu legislatif yang lebih spesifik dan jelas;
    2. Dalam Juknis tentang tata cara pemungutan suara dengan noken, dilampirkan dengan satu formulir yang akan diisi dan ditandatangani oleh kepala suku, saksi parpol,dan PPL (Pengawas Pemilu Lapangan). Formulir tersebut menjadi attachement dari C1, dan menjadi salah satu dokumen yang harus diverifikasi bukan saja di PPS, PPD, tetapi juga sampai rekapitulasi di KPU Kabupaten. Verifikasi harus dilakukan terhadap originalitas dan kesesuaian formulir tersebut dengan model C1 di TPS, model D di PPS, dan Model DA di PPD.  Ini dimaksudkan untuk mengantisi pasikecurangan/manipulasi dari badan penyelenggara ad hoc
    3. Juknis ini perlu disosialisasikan secara menyeluruh oleh penyelenggara pemilu  kepada semua badan penyelenggara ad hoc (PPD, PPS, KPPS) di Dapil Papua 3, Dapil Papua 4, Dapil Papua 5, Dapil Papua 6.
    Tentu dengan semakin dekatnya hari pemungutan suara 09 april 2014, ini bukan suatu pekerjaan mudah bagi penyelenggara pemilu. Tetapi, seperti air yang mengalir dengan deras dari pegunungan, bila tidak dikanalisasi dengan peraturan yang jelas dan terarah, bisa saja menjadi banjir bandang yang menyapu bersih dataran rendah hingga pesisir pantai.
    Saya teringat sewaktu drh. Constant Karma menjadi Penjabat Gubernur Papua dalam berbagai kesempatan dan promosi untuk Pemilukada Gubernur/Wakil Gubernur Papua, selalu mengungkapkan ajakan untuk mensukseskan Pemilu sebagai demokrasi gaya Papua.
    Mungkinkah ini salah satu yang dimaksudkah Pak Constant, budaya noken, yang sudah diakui secara konstitusional, memang demokrasi gaya Papua.....................Syaloom....!


Related News

Tidak ada komentar:

Contact Us

Stats

Archive

Recent News

Video Of Day

Send Quick Massage

Nama

Email *

Pesan *

Catwidget2

Catwidget4

Catwidget3

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Entri Populer

Search This Blog

Popular Posts

Entri Populer

Entri Populer

Entri Populer