Editor's Vids

Dr.Natalsen : Mari Kita Ciptakan Kondisi Politik Yang Santun

Liputan Papua
Pemilihan Kepala Kampung

Buku Pemilukada Gubernur Papua Tidak Demokratis Diluncurkan.

News
Jayapura-Buku dengan judul “Pemilukada Gubernur Provinsi Papua Tidak Demokrasi” diluncurkan oleh penulisnya Pares L. Wenda, Yoka Yoman, dan Nigak Kogoya di aula P3W Padang Bulan (13/12/2013.)
Buku setebal tebal 627 halaman dan bergambarkan pulau Papua dan berlatar belakang tangan seseorang yang akan memasukan surat suara itu diterbitkan oleh Lembaga Intelektual Tanah Papua (LITP).
Pares L. Wenda mewakili salah satu penulis mengatakan tujuan dari penulisan buku tersebut untuk memberikan referensi ataupun rujukan kepada pemerhati demokrasi, para pelaku dan penyelenggara Pemilu.
“Minimal para kepala daerah  mempunyai dokumentasi atau data. Lewat buku yang sudah kami  susun ini bisa menjadi salah satu referensi atau rujukan untuk Pilkada, Pileg DPRD, DPR RI, dan Pilpres,” kata Pares L. Wenda kepada wartawan usai peluncuran buku tersebut.
Jelasnya Lagi, “buku ini bisa menjadi catatan penting bagi kita semua, buat para calon pemimpin di Papua bahwa pernah terjadi Pemilukada yang tidak demokratis. Buku ini juga bukan untuk menyinggung hasil Pemilukada saat ini, atau kepemimpinan Papua tetapi untuk memberikan gambaran serta dokumentasi penting bagi anak cucu kita”.
“Dalam penulisan buku ini, kami mengumpulkan semua data di lapangan, juga data dari tim sukses dan data pendukung lainnya,”Ungkapnya menjelaskan sumber data dari penulisan buku tersebut. (RM/AlDP)

Sistem Noken Akan Selalu Memakan Korban

 Penulis : Pares L. Wenda | Sabtu, 25 Januari 2014 18:53

Dalam sejarahnya sistem noken, setidaknya digunakan sejak pemilu Legislatif dan Presiden Indonesia pada tahun 1977/1978 di wilayah pegunungan tengah Papua. Pertimbangan penggunaan Sistem Noken menurut Alex Hesegem (mantan wakil gubernur Papua 2006-2011), ada dua pertimbangan utama.

Pertama, pada waktu itu masyarakat di pegunungan sebagian besar masih dalam kondisi buta huruf, buta warna.

Kedua, kondisi geografis yang sulit dijangkau oleh pemerintah daerah, alasannya pada waktu itu wilayah pemerintah di pegunungan tengah hanya ada di kabupaten pegunungan yaitu kabupaten Jayawijaya ibu kota Wamena pegunungan bagian timur, dan pegunungan barat di Paniai beribukota Nabire.

Kondisi obyektif hari ini di wilayah pegunungan Papua bagian timur maupun barat telah memiliki sejumlah kabupaten yang tumbuh bagaikan jamur di siang bolong dan usia anak gunung menimba ilmu hingga saat ini seusia dengan Integrasi Papua ke dalam Indonesia.

Sehingga orang-orang di Jakarta setidaknya harus berbangga bahwa hari ini gubernur dan wakil gubernur Papua dipimpin oleh didikan murni dari Indonesia. Baik pendidikan, sistem politik, hukum dan demokrasi semua ala Indonesia berbeda dengan gubernur dan wakil gubernur sebelumnya.

Istilah pemekaran adalah mendekatkan pembangunan kepada rakyat atau rentang kendali pembangunan yang jauh tadinya, dibawa sangat dekat dengan masyarakat di kampung harus diwujudkan dalam pelaksanaan demokrasi. Apa gunanya daerah otonom baru yang terlalu banyak di wilayah pegunungan hari ini. Kalau masih menggunakan terminologi wilayah geografis yang sulit, masyarakat masih terbelakang, masih buta aksara, buta warna.

Hal itu merupakan istilah kolonial. Kalau pemerintah hari ini masih pakai istilah tersebut, maka pemerintah yang ada adalah pemerintahan kolonial yang hari ini sedang menindas dan berdansa-dansa di atas penderitaan rakyat dan bangsa Papua.

Dalam visi Gubernur Enembe, "Papua Bangkit dan Sejahtera" jangan hanya dilihat pada sektor ekonominya, satu indikator keberhasilan pembangunan adalah terlaksananya demokrasi, hukum dan politik yang menghargai HAM. Dalam konteks penghargaan atas HAM tersebut, maka dalam dunia politik dan demokrasi serta hukum, di wilayah pegunungan Papua hak kedaulatan yang mendasar dalam konteks ini untuk memilih dan dipilih merupakan hak kesulungan mereka yang harus diberikan.

Jangan hanya karena Sistem Noken suara rakyat digadaikan oleh PPD, KPPS, KPU, Panwas, Pemerintah daerah, maka sesusungguhnya kita telah gagal, bukan hanya kita melanggar HAM orang lain, tetapi kita tidak membangun demokrasi, hukum dan perpolitikan di Papua. Dan itu menentang semua instrumen nasional dan Internasional dalam pembangunan demokrasi lokal, nasional dan Internasional.

Sistem Noken menurut kajian Emilie Durkheim (Tinjauan Sosio-antropologis) dalam buku Sistem Noken Demokratiskah? yang ditulis oleh Piter Ell, at al (2013:80-82), Emilie membagi masyarakat dalam dua kelompok yaitu kelompok solidaritas mekanis dan kelompok solidaritas organis. Di mana pendekatan kelompok masyarakat solidaritas mekanis lebih kepada masyarakat masih menganut sistem kebersamaan, sistem feodal, sementara solidaritas organis adalah masyarakat modern yang lebih mementingkan invidualitas.

Dalam konteks ini Piter Ell, at al melihat bahwa masyarakat Papua di pegunungan masih dalam taraf kelompok masyarakat solidaritas mekanis. Sehingga Sistem Noken saat ini masih relevan untuk dilaksanakan di wilayah pegunungan tengah Papua.

Noken dalam legal standing menurut Piter Ell, at al (2013:83-89) memuat tentang pasal ayat yang berhubungan dengan amanat konstitusi UUD 1945 tentang kearifan lokal, instrumen internasional tentang Pengakuan Noken sebagai warisan budaya dunia, kemudian juga mengutip pandangan Soemitro tentang ciri-ciri hukum tradisional dan Soekanto tentang ciri-ciri hukum modern. Serta pandangan Yanis Maladi agar hukum tradisional harus diadopsi dalam hukum Nasional.

Sementara itu, Piter Ell, at al (2013:90-112) memuat tentang putusan MK di Yahukimo, beberapa kabupaten di wilayah pegunungan dan keputusan MK tentang Pilgub Papua tahun 2013 yang intinya menunjukan putusaan MK menggunakan sistem noken.

Kesimpulan dari tulisan tersebut sepertinya Piter Ell, at al mendukung kalau Sistem Noken layak digunakan dalam pesta demokrasi seperti Pileg, Pilpres dan Pemilukada khususnya di wilayah Papua yang menggunakan sistem noken. Piter Ell, at al nampaknya mengabaikan satu hal bahwa masyarakat Papua gunung hari ini sedang menuju 50 tahun lebih dalam mengikuti perubahan yang sedang terjadi di wilayah itu oleh karena mengikuti dinamika pembangunan dan pengaruh luar lainnya.

Sehingga penerapan pandangan Emilie masih perlu dikaji di masa depan, tetapi ini penting dalam rana membangun wawasan anak bangsa di pegunungan, sehingga pada waktunya terjadi perubahan-perubahan sesuai dengan perubahan arus pembangunan di wilayah itu.

Mari kita bandingkan dengan tulisan "Pilgub Papua Tidak Demokratis" yang ditulis oleh Pares L. Wenda, at al (2013:174-184). Dalam tulisan itu, ia membahas bahwa Sistem Noken bukan budaya orang pegunungan, tetapi Sistem Noken lahir sejak 1971 sesuai pernyataan ketua MRP Timotius Murib pada dengar pendapat di MK sebelum putusan akhir Pilgub Papua.

Dalam implementasi juknis sebagai turunan dari keputusan MK KPU Provinsi Papua diberikan kepada KPU kabupaten/kota sebelum 17 hari masuk pemilihan Pilgub Papua, sehingga sosialisasi juknis diduga tidak dilaksanakan oleh KPU yang daerah menggunakan sistem noken, kalau pun dilaksanakan tentu tidak semua daerah dijangkau dengan alasan klasik: waktu, biaya dan wilayah geografis yang sulit.

Keputusan MK adalah keputusan kasuistis, sehingga tidak bisa dijadikan sebagai dasar hukum pelaksanaan Sistem Noken di Papua. Noken telah menjadi warisan dunia, sehingga noken diharapkan tidak menjadi ajang perebutan kursi politik legisltif, dan pemilihan kepala daerah, keputusan sistem naken selain kasuistis, juga keputusan top down atau keputusan yang datang dari atas oleh karena ada masalah sengketa. Seharusnya supaya ia menjadi kekuatan hukum tetap dalam implementasinya sebagai sebuah karifan lokal, maka harus datang dari pemilik Sistem Noken tersebut. Sehingga ia dapat memenuhi amanat konstitusi UUD 1945.

Lalu, bagaimana prosesnya dan siapa yang membuat draf itu?. Dalam konteks ini, dalam buku itu disarankan, sebaiknya Dewan Adat Papua yang membuat draf Peraturan Daerah tentang Sistem Noken yang kemudian diserahkan kepada Pemerintah melalui MRP sebagai lembaga kultural untuk dibahas, selanjut diserahkan kepada DPRP, kemudian diajukan ke pemerintah untuk ditetapkan dan kalaupun ada masalah di kemudian hari, maka tentu aka ada perubahan-perubahan sesuai dinamika demokrasi, politik dan hukum.

Dari dua referensi di atas perlu diapresiasi bahwa setidaknya telah mulai ada perdebatan dalam rana karya ilmiah, dimana tadinya hanya ada di wilayah hukum, wilayah media. Diharapkan riset independen yang merujuk pada perbaikan Sistem Noken di masa depan terus dilakukan. Apakah setelah itu akan tetap sebagai satu kearifan lokal atau setelah dikaji ia berpotensi menjadi konflik dan karena itu ditiadakan merupakan masalah lain.

Fakta bahwa pendekatan yang dimaksud Emile dalama solidaritas mekanis yang dimaksudkannya benar-benar tidak terjadi, kepala suku tidak berfungsi di saat Pilgub Papua. Kepala suku telah menjadi scapegoat. Atas nama sistem noken, kepala suku yang melakukan pencoblosan surat suara adalah kepala distrik, kepala kampung, petugas KPPS, PPD di lapangan, karena itu sebenarnya pendekatan yang dimaksudkan Emilie adalah benar tetapi dalam tataran implementasi tidak terjadi.

Mengapa tidak terjadi, karena sistem politik, demokrasi dan hukum mendorong untuk tidak terjadi karena diakui bahwa telah dibajak oleh golongan berduit, penguasa dalam memenuhi nafsu mencapai tujuan mereka.

Dalam Pileg dan Pilpres 2014, peluang untuk menggunakan Sistem Noken berpotensi untuk dilakukan di wilayah pegunungan. Alasannya, pemerintahan yang ada hari ini sudah mengatakan bahwa di wilayah pegunungan berpotensi tetap menggunakan sistem noken, para politisi dari wilayah-wilayah itu juga tidak berniat untuk mendorong hal ini menjadi satu permasalahan serius.

Mereka tidak memandang Sistem Noken berpotensi konflik, dahulu tidak dipersoalkan, tetapi hari ini masyarakat sudah mengerti dan sedang mempersoalkan. Karena itu, untuk menghindari kasus Yason Karoba di Tolikara, hendaknya para politis bersikap hati-hati khusus di wilayah yang menggunakan sistem noken.

Karena kepala kampung,  PPS, PPD, KPPS dan KPU akan bermain di sana. KPU Provinsi sejak dilantik hingga hari ini hanya sibuk dengan urusan yang lain, masalah Sistem Noken diabaikan. Sistem Noken dibahas ramai lagi ketika terjadi Pilgub Papua.

Maka dalam jangka panjang untuk menghindari korban baik secara psikologis maupun fisik dalam demokrasi, hukum dan perpolitikan Papua, Sistem Noken harus didiskusikan. Dan, apa untung ruginya dalam jangka panjang mesti dibahas terus menerus.

Pares L. Wenda adalah Sekretaris Baptis Voice, Wakil Direktur Lembaga Intelektual Tanah Papua.

Sumber:http://majalahselangkah.com/content/sistem-noken-akan-selalu-memakan-korban

Buku ‘Pemilukada Gubernur Papua Tak Demokratis’ Dilaunching : Ada Pembahasan Pelanggaran Sistematis, Terstruktur dan Masif Buku ‘Pemilukada Gubernur Papua Tak Demokratis’ Dilaunching : Ada Pembahasan Pelanggaran Sistematis, Terstruktur dan Masif


JAYAPURA -  Sebagaimana dijadwalkan sebelumnya, buku berjudul ‘Pemilukada Gubernur Provinsi Papua Tidak Demokratis’ diluncurkan oleh 3 orang penulisnya, yakni Pares L. Wenda, Yoka Yoman dan Nigak Kogoya serta Ketua Dewan Pengurus Pusat Lembaga Intelektual Tanah Papua Dr. Natalsen Basna, S.Hut., M.Sc., di Aula P3W Padang Bulan, Jumat (13/12) kemarin siang sekira pukul 11.00 WIT.
Buku setebal 627 halaman dengan latar belakang berwarna biru dan juga gambar pulau Papua, serta surat suara Pemilu itu isinya terdiri dari delapan bab. Diantaranya membahas tentang latar belakang Pemilukada Provinsi Papua, Demokrasi, Hukum Pemilukada, Pelanggaran Sistematis, Terstruktur dan Masif. Serta Pilgub Papua dan Isu Politik Pemekaran Kabupaten Lanny Jaya, perselisihan hasil Pemilihan Umum (Phpu) Pemilukada Provinsi Papua yang diterbitkan oleh Lembaga Intelektual Tanah Papua (LITP) dan dicetak oleh Galang Press di D.I.Y.
Usai launching buku, salah satu penulisnya yakni Pares L. Wenda ketika dikonfirmasi wartawan mengatakan, bahwa tujuan dari penulisan buku tersebut untuk memberikan referensi ataupun rujukan kepada pemerhati demokrasi, para pelaku dan penyelenggara Pemilihan Umum (Pemilu).

“Minimal para kepala daerah mempunyai dokumentasi atau data. Dan, lewat buku yang sudah kami susun ini bisa menjadi salah satu referensi atau rujukan untuk Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada), Pemilihan Legislatif (Pilleg) maupun Pemilihan Presiden (Pilpres),” katanya.
Pares demikian sapaan akrabnya mengharapkan, dengan adanya buku tersebut dapat menjadi catatan penting bagi semua stakeholders baik itu buat para calon pemimpin di Papua bahwa pernah terjadi pesta demokrasi atau Pemilukada yang tidak demokratis. Selain itu, kata Pares lagi, bahwa buku ini diterbitkan bukan untuk menyinggung hasil Pemilukada pada tahun 2013 ini atau di masa kepemimpinan Papua saat ini, tetapi guna memberikan gambaran serta dokumentasi penting bagi anak cucu Papua di masa yang akan datang.
“Jadi, dalam penulisan buku ini kami mengumpulkan semua data yang ada di lapangan dan juga data dari para Tim Sukses (Timses) tiap-tiap kandidat serta data pendukung lainnya. Sehingga indepensi itu benar-benar dapat kami jaga, dimana kami terbitkan buku itu tidak ada pesan sponsor dari pihak manapun,” tukasnya.
Sementara itu ditempat yang sama, Ketua Dewan Pengurus Pusat Lembaga Intelektual Tanah Papua dr. Natalsen Basna, S.Hut., M.Sc., mengatakan, bahwa buku itu diluncurkan guna memberikan warna bagi demokrasi di Papua, yakni ingin menyuguhkan fakta yang terjadi dilapangan terkait Pemilukada yang lalu dan bukan untuk menghakimi hasil yang telah diputuskan atau sudah berjalan hingga saat ini.
“Buku itu merupakan buku ke-14 yang diterbitkan oleh Lembaga Intelektual Tanah Papua (LITP). Dan, buku ini ingin memberikan gambaran demokrasi yang terjadi di Papua pada waktu Pemilukada yang lalu,” pungkasnya sembari menambahkan bahwa LITP didirikan pada 5 Februari 2009 lalu di D.I.Y.
Berdasarkan pantauan Bintang Papua pada launching buku itu juga dihadiri beberapa tokoh seperti Praktisi Hukum Steve Waramuri, S.H., selaku pembicara, Ketua AJI Jayapura Viktor Mambor, tokoh perempuan Papua Fintje Yarangga dan aktivis HAM Papua Matius Murib. (Mir/don/l03)

Marinus: Buku Pilgub Papua Tak Demokratis Sebagai Referensi


JAYAPURA - Salah satu akademisi Universitas Cenderawasih (Uncen) Marinus Yaung memberikan apresiasi yang tinggi kepada 3 orang penulis buku ‘Pemilukada Gubernur Provinsi Papua Tidak Demokratis’ yang bekerjasama dengan Lembaga Intelektual Tanah Papua (LITP), karena ini merupakan sebuah pendidikan politik yang baik buat pembelajaran dan memperbaiki demokrasi di Papua kedepan.
“Saya memberikan apresiasi yang luar biasa buat teman - teman yang menulis buku tersebut. Dikarenakan pada hari ini (Jumat, 13/12 lalu) semua orang Papua yang datang menghadiri peluncuran buku itu adalah untuk memberikan pikiran yang demokrat di Tanah Papua. Buku ini jangan dianggap sebagai karya biasa saja karena dengan adanya buku itu bisa memberikan suatu pendidikan politik yang baik buat pembelajaran dan memperbaiki demokrasi di Papua ke depan,” kata Marinus Yaug yang juga merupakan dosen Hubungan Internasional FISIP Uncen kepada Bintang Papua pada saat menghadiri peluncuran buku tersebut, di Aula P3W Padang Bulan, Kelurahan Hedam, Distrik Heram, Jumat (13/12) lalu.
Marinus mengatakan, ini merupakan suatu pendidikan politik yang luar biasa dan hal ini harus menjadi tanggung jawab setiap stokeholders, baik itu partai politik (Parpol) yang terlibat langsung dalam proses demokrasi di Tanah Papua dan juga pemerintah harus terlibat dengan hal - hal seperti ini karena dipandang sangat perlu mendapat dukungan dari pemerintah.

Marinus mengatakan sangat kagum dengan 3 orang penulis karena mulai muncul banyak penulis - penulis orang asli atau anak - anak asli Papua yang cerdas dan betul - betul menyampaikan pikirannya secara ilimiah untuk perbaikan sebuah sistem pemerintahan dan kekuasaan diatas Tanah Papua ini. “Sehingga ini merupakan momen yang terbaik buat semua orang Papua dalam menghadiri sebuah demokrasi di Tanah Papua,” katanya.
Lebih lanjut, Marinus mempunyai catatan khusus untuk Pilgub Papua yang banyak disinggung dalam buku itu adalah untuk menjustifikasi Pemilukada Gubernur Papua tidak demokratis dari sisi yang lain dapat dikatakan ya (benar). Tapi, dari sisi yang lain juga dapat dikatakan bahwa ini bagian dari sebuah proses demokrasi di Tanah Papua. “Kalau kita bicara soal sistem demokrasi itu mempunyai hubungan langsung dengan budaya politik yang ada di Tanah Papua ini. Ada 3 budaya politik yang di tengah - tengah masyarakat, yakni budaya politik subjek, parokhial dan partisipan. Nah, Papua saat ini masyarakatnya masih berada di dalam budaya campuran antara subjek dan parokhial,” ungkapnya.
“Kenapa saya bandingkan Papua lebih baik daripada Amerika Serikat (AS) karena dalam budaya politik subjek dan parokhial kita mampu melahirkan sebuah demokrasi yang dikerjakan oleh orang - orang Papua yang dalam tanda petik masih dianggap tingkat pengetahuannya masih rendah dalam soal - soal demokrasi dan politik. Akan tetapi, dia (orang Papua) mampu menjalankan demokrasi dengan berhasil. Maka itu kita harus memberikan apresiasi yang luar biasa bahwa Papua lebih baik dari Amerika Serikat (AS),” sambungnya.
Budaya politik subjek dan parokhial adalah budaya politik yang betul - betul memberikan ruang yang cukup luas buat kearifan - kearifan lokal bertumbuh dalam sistem politik. Tapi, kalau budaya politik partisipan itu adalah betul - betul penegakan hukum.
“Dimana, kita belum sampai ke budaya politik partisipan tersebut. Kalau ada orang yang menginginkan sistem politik Noken itu disingkirkan, maka bagi saya hal itu tidak akan pernah terjadi dalam budaya politik subjek dan parokhial. Tapi, hal itu akan terjadi dalam budaya politik partisipan, yakni dengan tingkat pengetahuan masyarakat yang cukup tinggi dan juga tingkat kepatuhan masyarakat terhadap hukum maka hukum akan ditegakkan dalam budaya politik partisipan. Di Papua belum sampai pada budaya politik partisipan, padahal budaya politik punya pengaruh yang besar terhadap tumbuh dan berkembangnya sebuah demokrasi,” jelasnya.
Seperti diberitakan sebelumnya, Buku berjudul ‘Pemilukada Gubernur Provinsi Papua Tidak Demokratis’ diluncurkan oleh 3 orang penulisnya, yakni Pares L. Wenda, Yoka Yoman dan Nigak Kogoya yang bekerjasama dengan Lembaga Intelektual Tanah Papua(LITP) dalam hal ini Ketua Dewan Pengurus Pusat Lembaga Intelektual Tanah Papua Dr. Natalsen Basna, S.Hut, M.Sc, di Aula P3W Padang Bulan, Kelurahan Hedam, Distrik Heram, Jumat (13/12) siang lalu sekira pukul 11.00 WIT.
Buku setebal 627 halaman dengan latar belakang berwarna biru dan juga gambar pulau Papua serta surat suara Pemilu itu isinya terdiri dari delapan bab. Diantaranya membahas tentang latar belakang Pemilukada Provinsi Papua, Demokrasi, Hukum Pemilukada, Pelanggaran Sistematis, Terstruktur dan Masif. Serta Pilgub Papua dan Isu Politik Pemekaran Kabupaten Lanny Jaya, perselisihan hasil Pemilihan Umum (Phpu) Pemilukada Provinsi Papua yang diterbitkan oleh Lembaga Intelektual Tanah Papua (LITP) dan dicetak oleh Galang Press di Daerah Istimewa Yogyakarta (D.I.Y.) (mir/don)

AJI JAYAPURA APRESIASI BUKU PILGUB PAPUA TIDAK DEMOKRATIS



    Writer: Aprila Wayar


    Jayapura, 13/12 (Jubi) – Victor Mambor, Ketua Aliansi Jurnalis Independen (AJI) Jayapura memberikan apresiasi pada penulis buku Pemilukada Gubernur Provinsi Papua Tidak Demokratis karena tidak semua orang mampu mengumpulkan fakta dan data lapangan lalu menyusunnya kembali dengan sistematis dalam sebuah buku.
    “Ini buku yang luar biasa dan saya memberikan apresiasi pada para penulis yang telah mengumpulkan fakta dan data lalu menyusunnya menjadi sebuah buku yang sistematis,” kata Victor Mambor dalam peluncuran buku ini di Aula P3W, Padangbulan, Jayapura, Jumat (13/12).
    Menurut Victor, mengumpulkan data lapangan bukanlah sesuatu yang mudah dan kita dapat belajar banyak tentang demokrasi dari buku ini. Banyak data yang dapat digunakan masyarakat luas dari buku ini terus-menerus. Dirinya juga menyarankan agar buku ini juga didistribusikan juga kepada stakeholder di Tanah Papua.
    “Media mempunyai peran penting demokrasi atau tidaknya sebuah proses pemilihan umum,” ungkap Victor yang juga Pimpinan Redaksi tabloidjubi.com ini terkait peran media dalam sebuah proses demokrasi.
    Terkait buku ini, Doktor Natalsen Basna, Ketua Lembaga Intelektual Tanah Papua yang menerbitkan buku ini mengatakan tujuan diluncurkan adalah untuk memberikan warna bagi demokrasi di Papua dengan menyuguhkan fakta lapangan terkait Pemilukada lalu. Bukan untuk menghakimi hasil yang sudah diperoleh saat ini dan sedang berjalan.
    “LITP telah menerbitkan empat belas buku dan buku ini adalah cermin demokrasi di Papua pada Pilgub lalu,” kata Natasen dalam peluncuran buku ini.
    Sehubungan dengan indepensi penulis saat menuliskan buku ini tanpa ada bentuk intervensi dari pihak lain, Pares L. Wenda, salah satu penulis buku ini mengatakan, pihaknya telah berusaha semampunya untuk tetap independen.
    “Benar-benar kami jaga independensi itu. Tidak ada pesan sponsor dari manapun,” kata Pares kepada wartawan. (Jubi/Aprila Wayar)

Hari Ini, Buku ‘Pemilukada Gubernur Provinsi Papua Tidak Demokratis’ Diluncurkan



Jum'at, 13 Desember 2013 09:48
JAYAPURA - Tiga penulis diantaranya Pares L. Wenda, Yoka Yoman dan Nigak Kogoya yang bekerjasama dengan Lembaga Intelektual Tanah Papua, pada Jumat (13/12) hari ini akan meluncurkan buku dengan judul “Pemilukada Gubernur Provinsi Papua Tidak Demokratis”, di Aula P3W Padang Bulan, Kelurahan Hedam, Distrik Heram.
Buku setebal 627 halaman dengan latar belakang berwarna biru dan gambar pulau Papua serta surat suara Pemilu itu isinya terdiri dari delapan bab.
Diantaranya membahas tentang latar belakang Pemilukada Provinsi Papua, Demokrasi, Hukum Pemilukada, Pelanggaran Sistematis, Terstruktur dan Masif. Serta Pilgub Papua dan Isu Politik Pemekaran Kabupaten Lanny Jaya, perselisihan hasil Pemilihan Umum (Phpu) Pemilukada Provinsi Papua.
Demikian kata Yoka Yoman didampingi Pares L. Wenda dan Ketua Dewan Pengurus Pusat Lembaga Intelektual Tanah Papua Dr. Natalsen Basna, S.Hut., M.Sc., ketika menggelar jumpa pers, di Sekretariat Elsham Papua, di Jalan Masuk Kampus USTJ Padang Bulan, Kelurahan Hedam, Distrik Heram, Kamis (12/12) kemarin siang sekitar pukul 12.30 WIT.
Yoka Yoman mengatakan, memang benar Pemilihan Gubernur (Pilgub) Papua telah usai, tetapi tragedi akibat dari kasus tersebut tidak bisa dipandang sebelah mata dan perlu ditulis agar menjadi salah satu pembelajaran bagi orang Papua di kemudian harinya.
“Buku ini bercerita tentang latar belakang Pilgub Papua. Dimana, salah satu indikatornya ada satu tragedi yang mengakibatkan orang meninggal dalam pesta demokrasi Papua tersebut,” katanya.
Disampaikanya, menulis buku tentang “Otsus Papua Telah Gagal” ini, dikarenakan ingin menyuarakan suara dari hamba Tuhan yang merasa tertindas dan termarjinalkan diatas tanahnya sendiri.
“Saya sebagai pemimpin umat, gembala dan orang asli Papua ingin menyuarakan apa yang disampaikan oleh umat saya, rakyat Papua. Jika mereka katakan lapar, saya akan katakan lapar, tidak yang lainnya,” katanya.
Selain itu, Yoka demikian sapaan akrabnya, bahwa isi buku ini tidak bermaksud menyudutkan pemerintahan yang telah berjalan saat ini. Akan tetapi, buku ini ditulis sebagai bahan referensi bagi masyarakat Papua.
“Ya, kami mencoba merangkum beberapa kasus Pemilihan Umum Kepala Daerah (Pemilukada) yang terjadi selama ini diatas Tanah Papua,” jelasnya.
Oleh karena itu, Yoka berharap, dengan adanya buku ini, kelak orang Indonesia di daerah lain mengutarakan bahwa, “Orang Papua telah menunjukkan kualitas terbaiknya, layak dan memenuhi syarat dalam Pemilukada yang baik pula dan elegan. Karena Matahari terbit dari Timur ke Barat,” harap Yoka yang meniru kata bijak dari mantan Bupati Merauke John Gluba Gebze.
Senada dengan hal itu, salah satu penulis lainnya yakni Pares L. Wenda mengatakan, buku ini mengutip tentang bukti-bukti dan fakta yang terjadi di lapangan pada akhir-akhir ini. Dimana, data dan fakta yang diambil dari sejumlah narasumber yang berbobot dan berkualitas tinggi (High Quality) yang ditemuinya saat berada di lapangan.
“Ya, kami ambil data dari saksi-saksi di lapangan dan juga masyarakat yang terlibat langsung di lapangan atau dalam Pilgub Papua tersebut,” tukasnya.
Sekedar diketahui, buku itu merupakan terbitan Lembaga Intelektual Tanah Papua itu adalah buku yang ditulis oleh ketiga anak asli Papua, yakni Pares L. Wenda, Yoka Yoman dan Nigak Kogoya yang dicetak oleh Galang Press di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) - Kota Jogjakarta. (mir/aj/lo2)

LITP LUNCURKAN BUKU PILGUB PAPUA TIDAK DEMOKRATIS



    Jayapura, 13/12 (Jubi) – Lembaga Intelektual Tanah Papua meluncurkan buku Pemilukada Gubernur Provinsi Papua Tidak Demokratis karya Pares L. Wenda, Yoka Yoman, dan Nigak Kogoya di Aula P3W Padangbulan, Jayapura, Jumat (13/12) siang.
    “Tujuan dari penulisan buku ini adalah untuk memberikan referensi pada pemerhati demokrasi, para pelaku dan penyelenggara Pemilu,” kata Pares L. Wenda, salah satu penulis buku ini.
    Menurutnya, untuk kepala daerah minimal memiliki dokumentasi proses demokrasi yang baru saja berlangsung dan dapat menjadi referensi bagi penyeleggaraan Pilkada, Pileg DPRD, DPR RI, dan Pilpres di masa mendatang. Dalam penulisan buku ini, pihaknya mengaku mengumpulkan semua data di lapangan juga data dari tim sukses dan berbagai data pendukung lainnya.
    “Kami berharap, ini dapat menjadi catatan penting bagi kita, khususnya para calon pemimpin di Papua bahwa pernah ada proses Pemilukada yang tidak demokratis,” ungkap Pares lagi.
    Terkait sistem noken yang juga menjadi bagian dalam buku ini, Steve Waramori, praktisi hukum Papua mengatakan, saat Mahkamah Konstitusi (MK) mengakomodir system noken maka ini adalah sebuah kemunduran. Ini sama artinya MK menganggap Orang Papua belum mampu melakukan proses demokrasi menggunakan system one man one vote.
    “Ini hanya demi kepentingan stabilitas di Tanah Papua dan ini bukan pertimbangan hukum tetapi pertimbangan politis,” tutur Stave Waramori yang hadir sebagai salah satu narasumber dalam peluncuran buku ini.
    Menurutnya, meski MK memberikan kebijakan soal penggunaan noken dalam Pemilukada lalu, tetapi dalam regulasi dan aturan Pemilu yang ada, sistem noken tidak tercantum di dalamnya. Itu artinya tidak ada dasar hukum. MK sebagai institusi tertinggi hanya memberi kebijakan politik untuk menjaga stabilitas daerah tetapi tidak diperbolehkan untuk dilakukan di masa mendatang. (Jubi/Aprila)

Contact Us

Stats

Archive

Video Of Day

Send Quick Massage

Nama

Email *

Pesan *

Catwidget2

Catwidget4

Catwidget3

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Entri Populer

Search This Blog

Popular Posts

Entri Populer

Entri Populer

Entri Populer