Jayapura, 18/2 (Jubi)—Draft Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus Plus Papua (RUUPP), terutama pasal 2, dinilai sebagai suatu penghinaan dan pelecehan terhadap perempuan Papua yang menikah atau kawin dengan laki-laki yang bukan orang Papua.
Hal tersebut diungkapkan Victor Abaidata,salah satu peserta Workshop bertemakan Akuntabilitas dan Transparan yang diselenggarakan The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP) yang bekerjasama dengan USAID Indonesia, di Swissbell Hotel Jayapura,Selasa(18/2).
” Ayah saya orang Gorontalo, tetapi Ibu saya adalah perempuan Genyem, salah satu Distrik ( Kecamatan ) di Kabupaten Jayapura. Hati saya sakit, begitu mengetahui salah satu pasal dalam draft UU Otsus Plus ini. Terutama pasal 2, yang tidak mengakomodir dan mengakui kami yang lahir dari rahim perempuan Papua sebagai orang asli Papua,” tegasnya.
” Ayah saya orang Gorontalo, tetapi Ibu saya adalah perempuan Genyem, salah satu Distrik ( Kecamatan ) di Kabupaten Jayapura. Hati saya sakit, begitu mengetahui salah satu pasal dalam draft UU Otsus Plus ini. Terutama pasal 2, yang tidak mengakomodir dan mengakui kami yang lahir dari rahim perempuan Papua sebagai orang asli Papua,” tegasnya.
Pasal tersebut, kata Victor, secara tidak langsung telah melukai hati perempuan-perempuan Papua yang oleh keadaan tertentu memilih hidup berdampingan dengan pria yang bukan orang Papua kemudian beranak pinak di Papua. Tetapi kemudian anak-anaknya tidak diakui sebagai orang asli Papua. Justru anak yang lahir dari rahim perempuan non Papua itu yang diakui sebagai orang asli Papua.
“Lalu apa bedanya dengan kami? Masak anak-anak yang lahir dari rahim perempuan non Papua yang diakui sebagai anak asli Papua, lalu kami yang lahir dari rahim perempuan Papua tidak diakui? Ini sama saja melecehkan ibu kami, dan itu tidak dapat kami terima,” tandasnya.
“Lalu apa bedanya dengan kami? Masak anak-anak yang lahir dari rahim perempuan non Papua yang diakui sebagai anak asli Papua, lalu kami yang lahir dari rahim perempuan Papua tidak diakui? Ini sama saja melecehkan ibu kami, dan itu tidak dapat kami terima,” tandasnya.
Karena itu, Victor minta kepada pihak Ombudsmen Republik Indonesia (ORI)dan juga kepada Anggota DPR-RI asal Papua, Agustina Basikbasik yang hari itu tampil sebagai narasumber, agar memperjuangkan pasal 2 ini segera direvisi, sebelum ditetapkan sebagai Undang-Undang.
Menanggapi hal itu, Agustina Basikbasik selaku wakil rakyat dari Papua yang duduk di kursi legislatif mengakui kalau pasal 2 tersebut memang sangat melukai hati perempuan Papua yang telah melahirkan anak-anak dari ayah yang bukan orang Papua.
“Tim yang membawa draft Rancangan Undang-Undang Otsus Plus ini, datang temui kita ketika hendak menghadap Pemerintah Pusat, jadi kami tidak memiliki waktu untuk mempelajari isinya dan memberi masukan. Tapi terima kasih, ada perhatian terhadap hal ini,semoga ada ruang untuk merubah pasal tersebut,” ujar Agustina.
“Tim yang membawa draft Rancangan Undang-Undang Otsus Plus ini, datang temui kita ketika hendak menghadap Pemerintah Pusat, jadi kami tidak memiliki waktu untuk mempelajari isinya dan memberi masukan. Tapi terima kasih, ada perhatian terhadap hal ini,semoga ada ruang untuk merubah pasal tersebut,” ujar Agustina.
Sementara itu, Kepala Perwakilan ORI Sulawesi Selatan, Subhan, selaku narasumber menambahkan, agar memasukkan masalah itu kepada ORI Pusat, sehingga dapat diproses atau diusulkan kepada Pemerintah Pusat untuk direvisi, agar hak perempuan Papua bisa terakomodir dalam UU Plus nanti.
Adapun bunyi dari pasal 2 Draft RUUPP tersebut pada bagian a dan b menyatakan bahwa orang asli Papua adalah orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua, yang ayah dan ibunya berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua. Dan orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua yang ayah berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua. (Albert/Jubi)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar