Jayapura, 19/2 (Jubi) – Organisasi Greenpeace Asia Tenggara menilai moratorium hutan yang ditetapkan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada 2013 lalu, tidak akan mampu menyelamatkan hutan Papua.
Charlesharles Tawaru, pekampanye Greenpeace untuk hutan Papua mengungkapkan, dalam dua tahun terakhir ini banyak sekali ijin baru, terutama di sektor perkebunan yaitu Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit. Sektor ini banyak mencaplok kawasan hutan yang masih perawan.
“Ini suatu bukti nyata, bahwa moratorium kurang menggigit karena instrumen hukumnya terlalu lemah dan regulasi di daerah kurang kuat. UU Otsus juga lemah sehingga memberikan celah. Ditambah lagi dengan tidak adanya proteksi yang cukup kuat dari pemerintah daerah maupun masyarakat adat,” ungkap Charles saat ditemui tabloidjubi.com di Kantor Greepeace, Tanah Hitam, Abepura, Jayapura, Rabu (19/2) siang.
Dia membeberkan kawasan hutan yang menjadi incaran pengusaha perkebunan, antara lain Merauke, Boven Digoel, Sarmi, Jayapura, Nabire dan Keerom. Sedang untuk Papua Barat mencakup wilayah Manokwari, Sorong, Sorong Selatan, Maybrat dan Fakfak.
“Indonesia termasuk negara yang kerusakan hutannya termasuk parah. Kita berharap dengan kondisi hutan dimana saat ini hutan di Sumatera dan Kalimantan yang sudah memprihatinkan, hutan di Papua harus diselamatkan,” ujarnya.,
Moratorium Hutan 2013 yang telah ditetapkan oleh Presiden RI, bertujuan untuk memberhentikan, menata dan menertibkan kembali kawasan hutan untuk kepentingan berkelanjutan dengan memperhatikan keseimbangan ekosistemnya.
Di tempat yang sama, Wirya Supriadi, Manajer Program Sumber Daya Alam dan Ekosob, Jaringan Kerja Rakyat (Jerat) Papua menambahkan ke depan hutan Papua akan semakin terancam, dengan adanya pembukaan lahan secara besar-besaran.
“Ini akan berdampak pada manusia papua dan lingkungannya yang saling berkait erat, ” kata Wirya.(Jubi/Aprila)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar