Editor's Vids

Penggerebekan Markas OPM Ada Rekayasa?

Wenand WatoryJAYAPURA –Penggerebekan terhadap anggota OPM di Kampung Sasawa, Kabupaten Kepulauan Yapen tangggal 1 Februari lalu hingga menangkap sebanyak 10 orang dan salah satu dari kelompok mereka tewas tertembak, diduga ada rekayasa.
Hanya saja, rekayasa dalam aksi penggerebekan itu belum diketahui motifnya seperti apa dan apakah ada oknum dibalik layar, sehingga membuat situasi tidak kondusif.
Adanya dugaan rekayasa ini diungkapkan anggota DPRP Ir. Wenand Watory kepada wartawan, kemarin di DPRP.
“Informasi yang saya dapat bahwa kejadian tidak signifikan, tapi ini juga perlu ditelusuri oleh pihak keamanan apakah ini betul prosesnya itu murni atau kah ada gerakan oleh rakyat atau memang ini sebuah rekayasa karena saya banyak dengar cerita saat turun di daerah itu lebih banyak rekayasa,” kata 
Menurutnya, rekayasa dalam penembakan yang terjadi di Kepulauan Yapen motifnya hingga saat ini belum diketahui dan secara pribadi, pihaknya tidak masuk akal karena gerakan yang dilakukan oleh kelompok tersebut masuk ke Kota, apalagi daerah itu merupakan pulau yang sangat kecil. “Serui itu merupakan pulau kecil tidak mungkin orang melakukan gerakan lalu sampai di tengah Kota itu menurut saya tidak masuk akal atas peristiwa yang terjadi lalu,” tuturnya.

Untuk itu, diharapkan kepada Pemerintah dan juga kepada pihak keamanan menyelesaikan persoalan yang terjadi di Kepulauan Yapen agar jangan rakyat dikorbankan terus. “Jangan rekayasa membuat situasi tidak kondusif, sebab sekarang ini pelajar tidak sekolah padahal sudah dekat ujian, mulai dari SD maupun SMP,” katanya 
Hal seperti ini, menurut dia, masyarakat tidak bisa leluasa untuk melakukan aktivitas, terutama bertani, sehingga ekonomi kerakyatan di daerah itu sangat  terganggu. “Ini harus diselesaikan oleh pihak keamanan dan harus jujur dengan kejadian ini. Jangan terus bermain-main di belakang layar lalu menciptakan suasana yang mengorbankan masyarakat dan tidak etis kalau saya menceriterakan semua ini,” katanya.
Dikatakan, kedatangan di wilayahnya yang merupakan wilayah pembangunan Dapil II sengaja datang untuk merekam situasi yang terjadi disana, dan masyarakat mengeluh karena mereka kebanyakan menyampaikan bahwa peristiwa itu merupakan rekayasa. Nah, siapa yang merekaya itu merupakan tugas kepolisian untuk mengungkap hal ini,” katanya.
Untuk dirinya mengklaim bahwa, pihaknya akan melakukan pengawasan di daerah itu tetapi yang lebih teknis adalah aparat kepolisian untuk mendeteksi siapa dibalik layar itu. “Siapapun dia harus ditegaskan supaya situasi tidak dipelihara karena hal ini bisa mengganggu pesta demokrasi,” ujarnya. (Loy/don/L03)

BUDAYA NOKEN, PENGAKUAN KONSTITUSI ATAS DEMOKRASI GAYA PAPUA

Senin, 10 -11 Februari 2014 13:17
    Oleh : Benny Sweny

    Membaca artikel dengan judul “Sistem Noken Akan Selalu Memakan Korban” yang ditulis oleh Pares L.Wenda dalam Harian Cenderawasih Pos terbitan Selasa, 28 Januari 2014,  yang juga menyitir dua buku tentang noken yang sudah dipublisir yakni buku “Sistim Noken demokratiskah”  karangan Pieter Ell/Theo Kosay, dkk dan”Pilgub Papua tidak demokratis” karangan Pares L.Wenda, mendorong saya mencari kedua buku tersebut. Saya sudah membaca buku “sistim noken demokratiskah” karena diberikan secara langsung oleh penulisnya Theo Kosay yang menjadi narasumber dalam diskusi tentang noken yang diselenggarakan Papua Democractic & Research Institute pada desember 2013 yang lalu.Sedangkan buku “Pilgub Papua tidak demokratis” belum saya miliki, tetapi setidaknya karena buku tersebut diltulis oleh Pares L.Wenda maka asumsi saya bahwa summary buku tersebutlah yang ditulis dalam Harian Cepos (28/01/2014).
    Diskursus tentang noken ini menjadi menarik karena dalam beberapa surat kabar di Papua memuat pernyataan dan pandangan dari berbagai kalangan yang pro dan kontra tentang sistem noken ini.
    Saya sendiri menyaksikan secara langsung pemungutan suara dengan noken pada hari pemungutan suara Pemilu Gubernur/Wakil Gubernur Papua 29 Januari 2013 di Distrik Kuwari, Kabupaten Tolikara. Pada waktu itu saya bersama dua anggota KPU Provinsi Papua (Ferry Kareth & Tjipto Wibowo)mendampingi dua anggota KPU RI (Arief Budiman dan Juri Ardiantoro) dan satu anggota Bawaslu RI (Daniel)yang seminggu sebelumnya meminta kepada saya guna mengatur kunjungannya pada hari pemungutan suara pemilu gubernur ke TPS yang menggunakan noken.

  • Dengan Susi Air menuju Karubaga, kami transit sebentar di kediaman Bupati Tolikara Usman Wanimbo, lalu dengan menggunakan beberapa mobil estrada menuju Distrik Kuwari. Dalam perjalanan mendekati tempat pemungutan suara, kami meliwati kelompok-kelompok masyarakat yang berjalan kaki berbondong-bondong menuju TPS. Di tempat itu sudah dibangun stand-stand yang berbentuk bilik, yang didalamnya diduduki oleh beberapa orang yang saya tanyai adalah petugas KPPS. 

  • Dalam stand yang difungsikan sebagai TPS itu,  melihat berbagai logistik pemilu untuk TPS seperti Kotak Suara, Surat suara, formulir-formulir, mulai dari C1, C2 dan lampirannya. Didepan stand tersebut tampak 6 (enam) tiang yang ditanam dengan noken tergantung diatasnya. Pada bagian depan sekali, tampak sekelompok masyarakat sedang melaksanakan aktivitas bakar batu, dan ada beberapa ekor babi yang masih hidup terikat didekatnya. Setelah masyarakat sudah datang dalam jumlah besar, terlihatlah mereka berbicara satu sama lain dalam bahasa daerah, dan kemudian tampil kedepan seseorang yang rupanya adalah kepala suku Distrik Kuwari, Tior Wanimbo yang menyampaikan orasi singkatnya bahwa pemilihan Gubernur dan Wakil Gubernur merupakan suatu hal demokrasi dan pemimpin di Tanah Papua sudah terbukti, apalagi ada pemimpin yang berhasil dari Tolikara telah membuktikan kepada masyarakat. Namun, di antara pemimpin itu hanya diberikan suara kepada pasangan nomor ururt 3, yaitu Lukas Enembe dan Klemen Tinal. “Saya selaku kepala suku mewakili masyarakat di Distrik Kuwari hanya memberikan suara kepada pasangan nomor urut 3 karena cuma dia bagi kami yang bisa memimpin Papua ini,” katanya.
    Setelah itu, kepala suku dibantu petugas PPD, mengambil salah satu surat suara lalu ditusuk oleh kepala suku dan dimasukan kedalam noken nomor urut 3 sebagai simbol bahwa semua pemilih yang terdaftar di TPS-TPS tersebut memberikan pilihannya kepada pasangan nomor urut 3 dengan disambut tepukan tangan masyarakat yang hadir serta teriakan, “wa......wa.....wa.....” Tugas selanjutnya rupanya dilaksanakan oleh petugas KPPS dengan mencoblos dan menuangkan hasil coblosannya kedalam formulir C1 dan lampirannya (Berita Acara dan Sertifikat Hasil Perhitungan Suara).

  • PPD lalu memberikan kesempatan pada Arief Budiman untuk menyampaikan kesan pesan atas kunjungannya di Distrik Kuwari, dan komentar Arief yang juga Korwil KPU RI untuk Provinsi Papua menyampaikan kepada masyarakat, pencoblosan harus dilakukan sesuai dengan aturan baik itu secara sistem noken maupun sistem pencoblosan langsung dan siapa pun yang menjadi pemenang harus didukung tanpa ada pertengkaran atau konflik di mana-mana.

  • Lanjutnya, pemilihan gubernur ini bila memenuhi 30 persen suara maka hanya dilakukan satu kali putaran, namun jikalau tidak memenuhi 30 persen maka akan dilakukan putaran kedua. Namun, dihimbau kepada masyarakat kalau satu putaran atau dua putaran tidak boleh melakukan tindakan-tindakan yang tidak sesuai aturan. “Jangan ada konflik, karena kita bertujuan untuk membangun Papua ini lebih baik dan harus mendukung siapa Gubernur dan Wakil Gubernur terpilih,”  harapnya.

  • Arief Budiman menutup kesan pesannya didepan masyarakat dengan menyampaikan, “Kita sudah saksikan sendiri bahwa masyarakat tidak dipaksakan, bahkan kantong Noken sendiri sudah digantung 6 kandidat dan semua mereka memilih hanya satu yaitu nomor urut 3 dan itu sudah layak karena masyarakat tidak dipaksanakan tapi mereka sendiri yang memilihnya,” ujarnya.

  • Setelah itu, karena saya kebelet untuk buang air kecil, saya pergi kebelakang stand-stand TPS yang membelakangi tebing untuk melihat-lihat apakah ada tempat untuk buang air kecil, pada saat dibelakang stand TPS tersebut, saya bertemu dengan dua anak seumuran 17 tahun, lalu spontan saya bertanya pada anak tersebut, “Ade, ko pilih pasangan nomor urut berapa ?” , jawab anak itu, “nomor 3 kaka”. Saya lanjut dengan pertanyaan berikut, “kalo yang ko tau, pasangan nomor urut 3 itu siapa ?” jawab dia, “tidak tau kaka”. Ketika saya bertanya pada anak yang saya temui berikutnya di belakang stand-stand TPS dengan pertanyaan yang sama, jawabannya sama pula.

  • Komentar dari Arief Budiman ini sangat jelas memahami filosofi noken yang menjadi pranata budaya masyarakat dalam menyalurkan hak pilihnya secara damai dan terbuka. Saya sendiri tidak mendengarkan komentar dari Daniel (Bawaslu RI) , tetapi dari body language-nya saya merasakan Daniel tidak setuju dengan sistem noken itu sendiri. 

  • Dalam perjalanan balik ke bandara Karubaga, dalam hati saya bertanya mengapa kedua anak yang saya temui dibelakang stand tadi, dengan jelas dan cepat menyebutkan pasangan nomor urut 3 sebagai pilihannya, tetapi malah tidak mengenal siapa yang dipilih. Apakah dalam musyawarah noken tersebut tidak dibahas tentang siapa figur yang akan dipilih sehingga mereka tidak tahu. Ataukah bagi mereka siapa yang dipilih tidaklah penting mereka ketahui, dibandingkan mengamankan keputusan bersama masyarakat dengan kepala suku. Apakah dalam musyawarah noken sebelum pemilihan, ada perbedaan pendapat tentang siapa yang harus dipilih dan mengapa pilihan harus dijatuhkan pada calon tertentu. 

  • Dalam penerbangan pulang dari Karubaga ke Sentani, salah seorang wartawan bercerita kepada saya tentang  adanya insiden yang tidak jauh dari Distrik yang kami kunjungi yakni di Distrik Gilubandu, yang mana seorang Anggota DPRD KabupatenTolikara, Husia Yosia Karoba, yang dikeroyok hingga tewas. Yang pasti bahwa pilihan Karoba yang merupakan kader Golkar berbeda dengan mayoritas masyarakat di Distrik Gilubandu yang menyalurkan hak pilihnya ke pasangan nomor urut 3. 

  • Ini menimbulkan pertanyaan baru bagi saya, apakah memang dalam musyawarah noken, perbedaan pandangan harus tunduk pada mayoritas masyarakat atau kemauan kepala suku. Tetapi, pertanyaan selanjutnya kalau minoritas tunduk kepada mayoritas dalam sistem noken, harusnya pasangan nomor urut 3 sapu bersih jumlah perolehan suara di Kabupaten Tolikara. Tapi kalau dilihat semua pasangan memperoleh suara seperti pasangan nomor urut 1, Noakh Nawipa sebanyak 1 suara. Untuk Pasangan Nomor urut 2 Kambu-Pakage sebanyak 76 ribu suara, untuk pasangan nomor urut 3 Lukas Enembe-Klemen Tinal sebanyak 155.413 ribu suara, untuk pasangan nomor urut 4 Welington Wenda-Weynad Watory sebanyak 3.497 suara, pasangan nomor urut 5 Alex-Marthen nol dan pasangan nomor urut 6 HMS-YOP sebanyak 6.017. 

  • Pertanyaan-pertanyaan tersebut diatas, saya kelompokan pada 2 pertanyaan besar yakni apakah sistem noken adalah budaya masyarakat pegununggan dan apakah landasan konstitusional sistem noken sehingga dapat diterapkan dalam Pemilu 2014.

  • Atau juga sesuai dengan background saya sebagai lulusan Antropologi Uncen dan pernah bekerja di KPU, maka tulisan ini akan saya ingin secara singkat mengulas noken dari dua perspektif, yakni noken dari pespektif antropologi dan noken dari perspektif konstitusi.

    1. Noken dari perspektif Antropologi
    Bila dilihat konsep antropologi tentang kebudayaan yang dibagi dalam tiga wujud (Koentjaraningrat : 1981 : Hal 186 ), yakni :
    1. Sebagai suatu kompleks dari ide-ide, gagasan, nilai, norma , peraturan, dan sebagainya,
    2. Sebagai suatu kompleks aktivitas serta tindakan berpola dari manusia dalam masyarakat,
    3. Kebudayaan sebagai benda hasil karya manusia. Wujud yang pertama bisa dikatakan sebagai wujud dari sistem kebudayaan atau Cultural system. Sedangkan wujud yang kedua adalah sebagai wujud dari Sistem sosial atau Social System. Wujud yang ketiga adalah bisa dikatakan sebagai kebudayaan fisik.

    Noken dapat dikatakan merupakan perwujudan ketiga wujud budaya tersebut karena noken sudah menjadi suatu sistem nilai dan norma yang dilakukan dalam suatu aktivitas dan tindakan berpola dan terus-menerus (setiap tahun/setiap ada event Pemilu) dari suku-suku di pegunungan tengah yang menggunakan kantong atau tas kerajinan tangan khas Papua yang terbuat dari kulit kayu ini, untuk memilih Bupati/Wakil Bupati, memilih Gubernur/Wakil Gubernur, dan memilih wakilnya yang duduk di DPR, DPD, DPRP, dan DPRD. Noken menjadi suatu sistim yang berisi norma dan  mekanisme masyarakat adat untuk memilih/menentukan siapa calon yang paling pantas menduduki jabatan-jabatan formal dalam kompetisi Pemilu Legislatif/Pemilukada. 

  • Jauh sebelum pelaksanaan Pemilu/Pemilukada sudah dilakukan terlebih dahulu dengan musyawarah antara kepala-kepala suku dengan masyarakat. Masyarakat melakukan musyawarah untuk menentukan calon siapa yang akan dipilih sebagai Kepala Daerah/wakil kepala daerah dan atau partai apa dan siapa yang akan dipilih menjadi wakil mereka di parlemen.Dalam Musyawarah tersebut tentu ada perbedaan pandangan dan pilihan, tetapi kemudian masyarakat akan bermufakat untuk pilihan mana yang terbaik. Ada permufakatan yang menyerahkan semua pilihannya (baca: suara) ke calon tertentu, tetapi ada juga permufakatan yang membagi pilihannya (baca: suara) ke beberapa calon. Setelah dilakukan musyawarah, kepala suku ditugaskan untuk mewakili  masyarakat pemilih,menyampaikan kepada KPPS/PPS/PPD tentang kesepakatan yang sudah diambil dan kemudian mewakili masyarakat untuk melakukan pencoblosan.Lalu, surat suara yang sudah dicoblos tersebut dimasukkan ke dalam noken berdasarkan pilihan yang sudah disepakati.Sementara itu, masyarakat menyiapkan lubang yang cukup besar yang diisi dengan batu dan ditaruh babiserta umbi-umbian dan kayu bakar. Setelah babi dan umbi-umbian masak, maka mulailah rakyat berpesta ria.Bagi masyarakat suku-suku di pegunungan, pemilu itu identik denganpesta sukacita, sehingga bila ada perbedaan pandangan yang sebelumnya terjadi pada saat diadakan musyawarah antara kepala suku dengan masyarakat dalam menentukan pilihannya, dapat terbayar dan tidak meninggalkan permusuhan diantara mereka.
  • Noken merupakan budaya suku bangsa-suku bangsa yang mendiami wilayah adat La Pago dan Me Pago. Pada kedua wilayah ada ini didiami oleh.... suku bangsa yang  diantaranya Suku Dani, suku Yali, suku Nduga, Suku Mee, Suku moni, dan suku-suku lainnya. Suku-suku ini menganut  sistim kepemimpinanan “Pria Berwibawa”atau “The Big Man”yang sesungguhnya dalam pengambilan keputusan yang menyangkut kepentingan bersama dilakukan melalui musyawarah tetapi juga melalui keputusan berdasarkan otoritas kepala suku yang bersangkutan, yang sekaligus merupakan representasi politik dan masyarakatnya.

    1. Noken dari perspektif Konstitusi

  • Pemilihan model noken ini diakui menjadi tata cara yang sah dalampenyelenggaraan pemilu oleh Mahkamah Konstitusimelalui Keputusan Mahkamah Konstitusi nomor 47-48/PHPU.A-VI/2009 tanggal 09 Juni 2009 terkait PHPU dari Kabupaten Yahukimo.

  • Dalam pengamatan saya, sejak 2009 sampai saat ini, semua Pemilukada Bupati/Wakil Bupati di Pegunungan menggunakan sistim noken. Mulai dari Pemilukada Jayawijaya, Pemilukada Paniai, Pemilukada Puncak Jaya, Pemilukada Tolikara, Pemilukada Mamberamo Tengah, Pemilukada Lani Jaya, Pemilukada Nduga, Pemilukada Yalimo, Pemilukada Intan Jaya, dan Pemilukada Deiyai. Semua Pemilukada Kabupaten di pegunungan ini bermuara di MK, dan tidak ada keputusan mahkamah yang bertentangaan dengan keputusan MK nomor 47-48/PHPU.A-VI/2009 tersebut.

  • Yang terakhir dalam Pemilukada Gubernur/Wakil Gubernur Papua yangmana sistim noken juga dipersoalkan di  MK , namun dapat kita lihat dalam pertimbangan keputusan MKNomor 14/PHPU.D-XI/2013(hal : 194) dimana  “Menurut Mahkamah proses penerbitan Surat Keputusan KPU Provinsi PapuaNomor 01/Kpts/KPU Prov.030/2013 tentang Petunjuk Teknis Tata CaraPemungutan Suara Dengan Menggunakan Noken Sebagai Pengganti Kotak Suara telah sejalan dengan pertimbangan Mahkamah dalam Putusan Nomor47-81/PHPU.A-VII/2009 tanggal 9 Juni 2009, karena mekanisme pemungutan suara berdasarkan kesepakatan masyarakat tersebut didasarkan pada hukum adatyang berlaku di daerah setempat dan tidak diatur dalam Undang-Undang in casuUndang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah. Selain itu,meskipun mekanisme pemungutan suara dengan cara kesepakatan masyarakat tersebut tidak diatur secara ekplisit dalam Undang-Undang Pemilu dan Undang-Undang Pemerintahan Daerah, namun konstitusi memberikan pengakuan danperlindungan terhadap masyarakat hukum adat dan hak-hak tradisionalnya.Pengakuan dan perlindungan masyarakat adat dan hak-hak tradisionalnya diaturdalam Pasal 18B ayat (2) UUD 1945 yang menyatakan, “Negara mengakui danmenghormati kesatuan-kesatuan hukum masyarakat hukum adat beserta hak-haktradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang”. Perlindungan hak-hak masyarakat hukum adat tersebut juga diatur dalam Pasal 51 ayat (1) huruf b UU MK yang pada pokoknya menyatakan,kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang. Dengan demikian menurut Mahkamah prosespenerbitan Surat Keputusan KPU Nomor 01/Kpts/KPU Prov.030/2013 tentangPetunjuk Teknis Tata Cara Pemungutan Suara Dengan Menggunakan Noken Sebagai Pengganti Kotak Suara telah tepat dan benar secara hukum”.

  • Putusan MK dapat  dikatakan progresif karena putusan ini merupakan putusan pertama yang dikeluarkan oleh MK dalam pengakuan terhadap masyarakat adat. Dalam Jurnal Konstitusi, Volume 6 Nomor 2, Juli 2009, Jakarta, yang diterbitkan  Mahkamah Konstitusi, Ahmad Sodiki salah seorang hakim konstitusi mengembangkannya lebih luas dengan gagasan konstitusi pluralis. Menurutnya, karakter konstitusi Indonesia adalah konstitusi pluralis yang seharusnya bisa dikembangkan lebih jauh untuk mengakui keberagaman yang ada di dalam Republik. Dengan pengakuan atau “rule of recognition,” konstitusi Indonesia dapat menjadi konstitusi yang hidup dan responsive terhadap keberagaman (responsiveconstitution). 

  • Dari pengalaman sebagaimana saya uraikan diatas pada saat kunjungan ke Tolikara, maupun kajian singkat saya tentang noken dari perspektif antropologi dan noken dari perspektif konstitusi maka dapat disimpulkan bahwa sistim noken merupakan budaya masyarakat di wilayah adat la pago dan me pago yang sudah diakui secara konstitusional.

  • Tentu ada kelemahan dan kekurangan dari sistim noken ini karena tidak diatur secara tertulis, dan pada beberapa suku bangsa atau komunitas berimprovisasi sehingga terdapat perbedaan teknis pelaksanaanya.
    Yang saya maksudkan disini bahwa sistim noken yang menghasilkan output hasil kesepakatan yang disampaikan oleh kepala suku tersebut, harus disambung dengan mekanisme formal oleh petugas KPPS dalam mengkonversi penyampaian kepala suku kedalam Berita Acara dan Sertifikat hasil  perhitungan suara.
    Oleh karena itu, sudah saatnya kita tidak perlu berpolemik tentang setuju atau tidak setuju terhadap budaya noken, karena suka atau tidak suka, mau atau tidak mau, saya berkeyakinan bahwa sistim noken akan tetap diterapkan dalam Pemilu legislatif 2014 di Dapil Papua 3, Dapil Papua 4, Dapil Papua 5, dan Dapil Papua 6 yang merupakan Dapil di wilayah adat La pago dan Me Pago ini.

  • Sebagai pemerhati demokrasi, saya ingin menyarankan beberapa hal kepada penyelenggara Pemilu (KPU dan Bawaslu),  yakni :

  • 1. Berkaca dari petunjuk teknis noken dalam Pemilu Gubernur/Wakil Gubernur Papua yang lalu, tanpa menunggu KPU RI (yang mungkin saja beberapa anggota apriori terhadap sistim noken), KPU Provinsi dapatmen-develope dan membuat decision suatu petunjuk teknis tentang tata cara pemungutan suara dengan noken untuk Pemilu legislatif yang lebih spesifik dan jelas;
    2. Dalam Juknis tentang tata cara pemungutan suara dengan noken, dilampirkan dengan satu formulir yang akan diisi dan ditandatangani oleh kepala suku, saksi parpol,dan PPL (Pengawas Pemilu Lapangan). Formulir tersebut menjadi attachement dari C1, dan menjadi salah satu dokumen yang harus diverifikasi bukan saja di PPS, PPD, tetapi juga sampai rekapitulasi di KPU Kabupaten. Verifikasi harus dilakukan terhadap originalitas dan kesesuaian formulir tersebut dengan model C1 di TPS, model D di PPS, dan Model DA di PPD.  Ini dimaksudkan untuk mengantisi pasikecurangan/manipulasi dari badan penyelenggara ad hoc
    3. Juknis ini perlu disosialisasikan secara menyeluruh oleh penyelenggara pemilu  kepada semua badan penyelenggara ad hoc (PPD, PPS, KPPS) di Dapil Papua 3, Dapil Papua 4, Dapil Papua 5, Dapil Papua 6.
    Tentu dengan semakin dekatnya hari pemungutan suara 09 april 2014, ini bukan suatu pekerjaan mudah bagi penyelenggara pemilu. Tetapi, seperti air yang mengalir dengan deras dari pegunungan, bila tidak dikanalisasi dengan peraturan yang jelas dan terarah, bisa saja menjadi banjir bandang yang menyapu bersih dataran rendah hingga pesisir pantai.
    Saya teringat sewaktu drh. Constant Karma menjadi Penjabat Gubernur Papua dalam berbagai kesempatan dan promosi untuk Pemilukada Gubernur/Wakil Gubernur Papua, selalu mengungkapkan ajakan untuk mensukseskan Pemilu sebagai demokrasi gaya Papua.
    Mungkinkah ini salah satu yang dimaksudkah Pak Constant, budaya noken, yang sudah diakui secara konstitusional, memang demokrasi gaya Papua.....................Syaloom....!


Perda Soal 14 Kursi DPR Segera Disidangkan

JAYAPURA — Ramainya pemberitaan mengenai pengalokasian 14 Kursi di DPR untuk hak politik Orang Asli Papua, dianggapi dingin oleh Gubernur Papua Lukas Enembe.
Menjawab pertanyaan Bintang Papua di Makodam XVII Cendrawasih pada Selasa (18/02) siang, Gubernur mengaku saat ini draft Raperda mengenai 14 kursi telah diajukan ke DPR Papua untuk disahkan menjadi Perda.
“Perda sudah siap, kita sudah kirim ke DPR Papua. Tinggal diagedankan untuk rapat sidang Paripurna untuk memutuskan 14 kursi untuk disahkan menjadi Perda,” aku Gubernur.
Setelah Perda mengenai 14 kursi disahkan, Gubernur menjelaskan, maka mekanisme penentuan siapa yang akan menduduki 14 kursi tersebut akan dilakukan seleksi oleh tim yang dibentuk Pemerintah Provinsi Papua.
“Penentuan ini menjadi kewenangan Gubernur untuk menentukan juknisnya, seleksi akan dilakukan oleh tim dari Gubernur, siapa-siapa yang direkrut akan ditentukan oleh tim yang dibentuk Gubernur,” imbuh Gubernur.
Mengenai waktu pengesahan, Gubernur menjelaskan saat ini DPR Papua sudah memasuki masa reses, karenanya setelah kembali, ia akan mendorong untuk segera dilakukan sidang Paripurna untuk penetapan Perda, karena ada empat Perda yang akan disahkan.

“Saya sudah melakukan koordinasi dengan pimpinan DPR Papua, setelah reses mereka sudah bisa sahkan. Ada jaminan memenuhi kuorum, diharapkan sebelum Pileg sudah selesai,” ucap Gubernur. (ds/don/l03)

GREENPEACE: MORATORIUM TIDAK MAMPU SELAMATKAN HUTAN PAPUA

    Jayapura, 19/2 (Jubi) – Organisasi Greenpeace Asia Tenggara menilai moratorium hutan yang ditetapkan Presiden Soesilo Bambang Yudhoyono pada 2013 lalu, tidak akan mampu menyelamatkan hutan Papua.
    Charlesharles Tawaru, pekampanye Greenpeace untuk hutan Papua mengungkapkan, dalam dua tahun terakhir ini banyak sekali ijin baru, terutama di sektor perkebunan yaitu Hutan Tanaman Industri (HTI) dan perkebunan sawit. Sektor ini banyak mencaplok kawasan hutan yang masih perawan.
    Ini suatu bukti nyata, bahwa moratorium kurang menggigit karena instrumen hukumnya terlalu lemah dan regulasi di daerah kurang kuat. UU Otsus juga lemah sehingga memberikan celah. Ditambah lagi dengan tidak adanya proteksi yang cukup kuat dari pemerintah daerah maupun masyarakat adat,” ungkap Charles saat ditemui tabloidjubi.com di Kantor Greepeace, Tanah Hitam, Abepura, Jayapura, Rabu (19/2) siang.
    Dia membeberkan kawasan hutan yang menjadi incaran pengusaha perkebunan, antara lain Merauke, Boven Digoel, Sarmi, Jayapura, Nabire dan Keerom. Sedang untuk Papua Barat mencakup wilayah Manokwari, Sorong, Sorong Selatan, Maybrat dan Fakfak.
    Indonesia termasuk negara yang kerusakan hutannya termasuk parah. Kita berharap dengan kondisi hutan dimana saat ini hutan di Sumatera dan Kalimantan yang sudah memprihatinkan, hutan di Papua harus diselamatkan,” ujarnya.,
    Moratorium Hutan 2013 yang telah ditetapkan oleh Presiden RI, bertujuan untuk memberhentikan, menata dan menertibkan kembali kawasan hutan untuk kepentingan berkelanjutan dengan memperhatikan keseimbangan ekosistemnya.
    Di tempat yang sama, Wirya Supriadi, Manajer Program Sumber Daya Alam dan Ekosob, Jaringan Kerja Rakyat (Jerat) Papua menambahkan ke depan hutan Papua akan semakin terancam, dengan adanya pembukaan lahan secara besar-besaran.
    Ini akan berdampak pada manusia papua dan lingkungannya yang saling berkait erat, ” kata Wirya.(Jubi/Aprila)

DRAFT RUUPP PASAL 2 MELECEHKAN PEREMPUAN PAPUA

    Jayapura, 18/2 (Jubi)—Draft Rancangan Undang-Undang Pemerintahan Otonomi Khusus Plus Papua (RUUPP), terutama pasal 2, dinilai sebagai suatu penghinaan dan pelecehan terhadap perempuan Papua yang menikah atau kawin dengan laki-laki yang bukan orang Papua.
    Hal tersebut diungkapkan Victor Abaidata,salah satu peserta Workshop bertemakan Akuntabilitas dan Transparan yang diselenggarakan The Jawa Pos Institute of Pro Otonomi (JPIP) yang bekerjasama dengan USAID Indonesia, di Swissbell Hotel Jayapura,Selasa(18/2).
    ” Ayah saya orang Gorontalo, tetapi Ibu saya adalah perempuan Genyem, salah satu Distrik ( Kecamatan ) di Kabupaten Jayapura. Hati saya sakit, begitu mengetahui salah satu pasal dalam draft UU Otsus Plus ini. Terutama pasal 2, yang tidak mengakomodir dan mengakui kami yang lahir dari rahim perempuan Papua sebagai orang asli Papua,” tegasnya.
    Pasal tersebut, kata Victor, secara tidak langsung telah melukai hati perempuan-perempuan Papua yang oleh keadaan tertentu memilih hidup berdampingan dengan pria yang bukan orang Papua kemudian beranak pinak di Papua. Tetapi kemudian anak-anaknya tidak diakui sebagai orang asli Papua. Justru anak yang lahir dari rahim perempuan non Papua itu yang diakui sebagai orang asli Papua.
    “Lalu apa bedanya dengan kami? Masak anak-anak yang lahir dari rahim perempuan non Papua yang diakui sebagai anak asli Papua, lalu kami yang lahir dari rahim perempuan Papua tidak diakui? Ini sama saja melecehkan ibu kami, dan itu tidak dapat kami terima,” tandasnya.
    Karena itu, Victor minta kepada pihak Ombudsmen Republik Indonesia (ORI)dan juga kepada Anggota DPR-RI asal Papua, Agustina Basikbasik yang hari itu tampil sebagai narasumber, agar memperjuangkan pasal 2 ini segera direvisi, sebelum ditetapkan sebagai Undang-Undang.
    Menanggapi hal itu, Agustina Basikbasik selaku wakil rakyat dari Papua yang duduk di kursi legislatif mengakui kalau pasal 2 tersebut memang sangat melukai hati perempuan Papua yang telah melahirkan anak-anak dari ayah yang bukan orang Papua.
    “Tim yang membawa draft Rancangan Undang-Undang Otsus Plus ini, datang temui kita ketika hendak menghadap Pemerintah Pusat, jadi kami tidak memiliki waktu untuk mempelajari isinya dan memberi masukan. Tapi terima kasih, ada perhatian terhadap hal ini,semoga ada ruang untuk merubah pasal tersebut,” ujar Agustina.
    Sementara itu, Kepala Perwakilan ORI Sulawesi Selatan, Subhan, selaku narasumber menambahkan, agar memasukkan masalah itu kepada ORI Pusat, sehingga dapat diproses atau diusulkan kepada Pemerintah Pusat untuk direvisi, agar hak perempuan Papua bisa terakomodir dalam UU Plus nanti.
    Adapun bunyi dari pasal 2 Draft RUUPP tersebut pada bagian a dan b menyatakan bahwa orang asli Papua adalah  orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua, yang ayah dan ibunya berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua. Dan orang yang berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua yang ayah berasal dari rumpun ras Melanesia suku-suku asli Papua. (Albert/Jubi)

MAHASISWA PAPUA DI MAKASSAR DITEROR, FASILITAS ASRAMA PUTRI LENYAP

    Jayapura, 18/2 (Jubi) -Aksi teror pasca penyerangan dua bulan lalu masih terus dirasakan mahasiswa-mahasiswi asal Papua di kota studi Makassar, Provinsi Sulawesi Selatan. Kepolisian setempat terkesan enggan mengungkap pelaku, padahal kasusnya sudah lama dilaporkan, Pemerintah Provinsi Papua pun belum memberi respon.
    “Sejak kejadian pada awal bulan Januari lalu kami sudah berkali-kali menghubungi pejabat Pemerintah Provinsi Papua, tetapi sampai sekarang tidak ada tanggapan. Situasi di sekitar asrama belum nyaman, tiap malam kami diteror terus,” ungkap pembina Asrama Mahasiswa Papua di Makassar, Frans Wambraw, kepada tabloidjubi.com melalui telepon seluler, Selasa (18/2) pagi.
    Frans mengatakan,hingga saat ini para mahasiswi Papua hingga kini masih mengungsi di asrama putra. Sudah tujuh minggu mereka belum bisa kembali ke tempat semula. Di saat bersamaan, seluruh fasilitas di Asrama Putri Cenderawasih XIV Papua, raib dicuri orang. Ini dibenarkan salah satu mahasiswa Papua di Makassar, Rickson Edowai.
    “Saya mendengar langsung pengakuan dari koordinator Mahasiswi Putri Papua di Makassar, saudari Venny pada saat pertemuan di aula asrama, Senin (17/2/2014) kemarin. Dia bilang, kemarin lalu sudah pergi lihat dan ternyata semua fasilitas Asrama Putri Papua raib tanpa jejak. Siapa pelakunya, kami tidak tahu,” tutur Edowai.
    Asrama Putri Papua terletak di Jalan Andi Pangerang Pettarani Blok B, Kelurahan Tammamaung, Kecamatan Panakukang, Kota Makassar. Kondisi asrama tersebut saat ini rusak berat. Semua fasilitas seperti lemari, meja, kursi kayu, sound system, kursi sofa, komputer, dilaporkan hilang. Termasuk televisi di ruang tamu, digondol maling. Menurut Venny sebagaimana dikutip Rickson Edowai, seluruh aset Pemerintah Provinsi Papua di asrama putri itu tak satupun tertinggal. Asrama itu kini kosong melompong. Tak hanya itu, pintu utama dan pintu-pintu kamar didobrak pelaku, kondisinya rusak parah. Begitupun kaca di ruang tamu maupun beberapa kamar tidur, pecah. Para penghuni dibawah pimpinan Venny hanya menarik nafas panjang melihat kondisi asrama mereka.
    Hasil pertemuan kemarin, imbuh Edowai, diputuskan kasus hilangnya fasilitas asrama putri tersebut akan dilaporkan segera ke Polresta Makassar, agar pelakunya dapat terungkap. Penghuni Asrama Putri Papua dievakuasi ke Asrama Putra Papua di Jalan Lanto Daeng Pasewang, Sabtu (4/01) 2014 lalu. Hal itu terpaksa dilakukan setelah terjadi penyerangan asrama oleh warga setempat, pada malam pergantian tahun baru, Rabu (1/1) 2014. Asrama dilempari bom molotov. Kaca-kacanya hancur, dan beberapa mahasiswi mengalami luka-luka. Kasus penyerangan itu, sebenarnya sudah diketahui Polsek Panakukang dan Polresta Makassar Kota, karena sempat dilaporkan pasca kejadian. Hanya saja, kata Frans, hingga kini belum ada upaya polisi menindaklanjutinya. Aparat keamanan dinilai membiarkan oknum pemuda setempat menyerang Asrama Mahasiswa Cenderawasih di Makassar.
    Menurut dia, teror dan pelemparan batu ke arah gedung asrama putra terjadi setiap malam. “Polisi belum menangkap pelakunya,” ujar Frans.
    Terkait hal ini, belum ada keterangan resmi dari pihak kepolisan setempat. Aksi teror, intimidasi dan penyerangan pada malam hari berdampak pada aktivitas perkuliahan mahasiswa-mahasiswi Papua di kota studi Makassar. Meski masih ke kampus dengan sangat hati-hati, secara umum mereka mengaku trauma dengan rentetan kejadian tersebut.
    “Setelah asrama putri diserang dan sudah dikosongkan, sekarang mereka tiap malam datang serang kami di asrama putra,” kata Frans Wambraw.
    Beberapa persoalan tersebut, kata dia, akan dilaporkan langsung ke Pemerintah Provinsi Papua.
    “Komunikasi melalui telepon sulit mendapat perhatian, jadi dalam waktu dekat ini ada satu tim yang terdiri dari pengurus organisasi dan penghuni asrama di Makassar akan ke Jayapura untuk sampaikan ke Pemprov Papua,” tutur Frans.
    Diharapkan, setelah sudah mendapat laporan lengkap dari tim, pemerintah daerah tidak tutup mata atas kasus yang sedang dialami anak-anak Papua di Makassar. (Jubi/Markus You)

Hilangnya 5 Nelayan : Pemerintah PNG Belum Berikan Ijin Pencarian

MERAUKE – Kepala Badan Pengelola Perbatasan Daerah Merauke, Albertus Muyak, S.E., M.Si., mengatakan bahwa hingga saat ini Pemerintah Papua New Guinea (PNG) belum mengeluarkan ijin pencarian 5 korban hilang akibat insiden pembakaran 1 unit speedboat yang ditumpangi 10 nelayan Merauke di Laut Karu (PNG), Kamis (6/2) lalu.
Menurut Muyak, Pemerintah PNG belum mengeluarkan ijin pencarian 5 korban di wilayahnya, sementara pihak Pemerintah RI melalui Pemda Merauke sudah berinisiatif bersurat ke Konsulat Jenderal PNG di Jayapura dan Konsulat RI di Vanimo (PNG), guna ijin pencarian korban hilang di wilayah PNG.
“Kita sudah bangun komunikasi dengan Konsulat Jenderal PNG di Jayapura, juga Konsulat RI di Vanimo untuk mendapat ijin dari Pemerintah PNG agar tim dari Pemda Merauke memasuki perairan PNG guna pencarian,” tuturnya kepada Bintang Papua, Selasa (18/2).

Selain bersurat ke konsulat jenderal kedua negara, Pemda Merauke juga sudah membangun komunikasi tertulis dengan Pemerintah PNG dan komunikasi melalui KBRI di Port Moresby PNG. Tetapi sampai saat ini, Pemerintah PNG belum memberikan ijin atau merespon surat permohonan dari Pemda Merauke.
“Ijin belum kita dapat sehingga pertama bahwa kita harus menghentikan pencarian ini, karena satu tujuan kita mencari korban yang hilang. Dan kalau sudah 13 hari tidak mungkin akan kita ketemu,” ujarnya.
Dikatakan, prosedur pengurusan ijin ke Pemerintah PNG cukup berbelit-belit, yakni melalui tingkat diplomatik, lewat KBRI dan kedutaan besar PNG di Jakarta, tetapi ijin tersebut belum dikeluarkan.
“Untuk mencari atau memasuki wilayah perairan PNG sampai sekarang ini prosedurnya cukup berbelit-belit, itu semua sangat banyak. Karena itu semua harus bicara tingkat diplomat, dan mereka bicara dengan KBRI kita di Port Moresby dan kedutaan besar PNG di Jakarta dan lewat konsulat-konsulat kita masing-masing, baik PNG maupun RI,” bebernya.
Meskipun Pemerintah Daerah sudah menghentikan pencarian, beberapa instansi terkait tetap melakukan koordinasi guna informasi keberadaan 5 korban hilang tersebut.
“Hari ini oleh Wakil Bupati, kita menutup pencarian, namun tetap kita bangun informasi untuk mencari keberadaan mereka (korban.red). Kalau memang mereka masih ada kita tetap mencari informasi untuk daerah Western Province,” tuturnya.
Ketika ditanya apakah Pemerintah PNG melarang pencarian korban WNI hilang di negaranya, Muyak menampik hal tersebut. Menurut dia, Pemerintah PNG belum memberikan ijin pencarian.
“Sebenarnya bukan melarang, mereka belum memberikan ijin karena itu prosedurnya cukup panjang. Secara administrasi kita sudah lakukan, tim yang akan pergi ke TKP itu semua sudah kita kirim ke konsulat kita dan konsulat kita yang bicara ke Pemerintah PNG,” terangnya.
Ditambahkan, waktu pencarian sudah cukup lama, yakni 13 hari. Oleh karena itu, efektifitas pencarian sudah tidak memungkinkan lagi.
“Kalau kita pergi, kita pergi mau cari apa di sana? Kecuali kalau kita mungkin mau pergi cari fakta-fakta lain yang kita kumpul. Tetapi yang pertama bahwa kita buat Posko ini untuk mencari 5 orang yang hilang,” tandasnya. (moe/bom/l03)

PNG KOMITMEN LAKSANAKAN REFERENDUM DI BOUGAINVILLE

    Perdana Menteri PNG O’Neil berjabatan tangan dengan Presiden RI Soesilo Bambang Yudhoyono saat O’Neil berkunjung ke Indonesia. (Jubi/ist)ANA
    Jayapura, 19/2 (Jubi) – Pemerintah Nasional PNG telah memberikan rekomendasi untuk komite parlemen yang akan didirikan untuk memberikan pengawasan politik dan kepemimpinan dalam kaitannya dengan pelaksanaan referendum di Daerah Otonomi Bougainville . 
    “ Apa yang terjadi di Bougainville adalah tragedi kemanusiaan yang amat mengerikan,” kata
    Perdana Menteri Peter O’Neill dalam sebuah pernyataan kepada parlemen usai melakukan kunjungan bersejarah ke Bougainville  yang dikutip tabloidjubi.com Rabu(19/2) dari Post Curier, media cetak terbesar di Papua New Guinea.
    Dikatakan sekarang saatnya untuk membangun kembali daerah Otonom Bougainville.
    “Prioritas utama saya adalah untuk membangun kembali infrastruktur Bougainville sehingga ketika kita melakukan referendum , Bougainville akan dapat membuat pilihan yang berarti,” tegasnya
    Ketika memilih tanggal untuk referendum  lanjut O’Neill, pertimbangan harus diberikan sebagai berikut, apakah senjata telah dibuang sesuai dengan perjanjian  dan apakah pemerintah Bougainville telah melakukan semuanya sesuai dengan standar yang diterima secara internasional dan sesuai dengan good governance .
    “Apakah ABG telah memenuhi standar yang diterima secara internasional akan ditentukan oleh Badan Pengawas Bersama setelah mempertimbangkan temuan dan tinjauan independen dari semua aturan, ” tegasnya.
    Dia mengatakan setiap lima tahun pemerintah nasional dan Autority Bougainville Government (ABG) memerlukan sebuah komisi peninjau independen dalam melaksanakan kesepakatan damai.
    O’Neill menambahkan Pemerintah nasional telah menyadari bahwa masalah kapasitas akut yang dihadapi oleh Pemerintah Otonom Bougainville .
    ” Setelah bertahun-tahun kita mengabaikan jalan , pusat kesehatan dan sekolah telah memburuk ke tingkat yang tidak sesuai dengan standar pelayanan. Kita perlu untuk membangun kembali lembaga-lembaga ini semua,” katanya.
    O’Neill mengatakan semua masalah di sana, karena  kebutuhan khusus bagi ABG memiliki pengaturan pendanaan sangat berbeda dengan Pemerintah Provinsi di Papua New Guinea .
    ” Pengaturan pendanaan mungkin tidak memadai dan ini perlu ditangani , ” katanya .
    Dia mengatakan, pemerintah sepakat bahwa ABG akan menerima K500 juta selama lima tahun , 2011-2016 , atau K100 juta per tahun , untuk proyek-proyek berdampak besar .
    Dia memberitahu parlemen bahwa proyek-proyek prioritas termasuk, pembukaan kembali Bandara Aropa ; merehabilitasi jalan lingkar di Pulau  Buka, pemulihan air dan sistem pembuangan kotoran untuk Arawa dan Buka , restorasi dermaga Kieta , rehabilitasi jembatan di Selatan West Road , dan pemulihan radio Bougainville .
    ” Tujuan kunjungan saya adalah untuk menunjukkan orang-orang dari Bougainville bahwa Pemerintah Nasional siap untuk membantu . Saya ingin semua Bougainville untuk dapat menyekolahkan anak mereka ke sekolah , untuk mengangkut hasil kebun  mereka ke pasar dan jika mereka sakit dapat mendapat pelayanan dari petugas kesehatan dan menerima perawatan yang tepat,” katanya .(Jubi/dominggus a mampioper)

Sistem Noken Disikapi Pro Kontra

Yan Mandenas/Doc.Binpa
JAYAPURA -  Ketua Komisi Pemilihan Umum Provinsi Papua menegaskan, dalam pemilu legislatif dan presiden yang berlangsung tahun ini, sistem Noken tidak akan diterapkan lagi. Keputusan itu menuai pro kontra dari sejumlah partai politik peserta pemilu. Ada yang mendukung penggunaan noken dan yang menolak keras.
Ketua Fraksi Pikiran Rakyat DPR Papua, Yan Permenas Mandenas mendukung keputusan KPU.
“Keputusan sistem Noken tidak diberlakukan lagi, bukti ketegasan KPU pusat, yang harus dihormati dan ditindak lanjuti dengan mengimplementasikannya pada Pemilu yang akan berlangsung dalam waktu dekat,”ujar Yan Mandenas kepada wartawan Selasa 18 Febuari.
Menurutnya, sistem Noken sangat melanggar azas demokrasi yang bebas langsung umum dan rahasia, karena masyarakat tidak menggunakan hak pilihnya namun diwakilkan. “Azas demokrasi yang sudah kita sepakati yakni Luber tidak terpenuhi dalam sistem Noken, sebab masyarakat yang memilih hak politik, bisa mewakilkan hak pilihnya kepada orang lain, atau tidak perlu mendatangi Tempat pemungutan suara,”ungkap Yan Mandenas.

Dengan bisa diwakilkan kepada orang lain, lanjut dia, tentu potensi dimanipulasi semakin tinggi, karena bisa saja suara itu dialihkan kepada orang lain, yang bukan pilihan rakyat. “Sistem keterwakilan ini kan memiliki peluang besar untuk dimanipulasi oleh yang mewakili, saat membawa surat suara ke TPS,”paparnya.
Dengan sistem Noken, lanjutnya juga, seakan membangun citra atau image, bahwa masyarakat Papua seolah-olah masih bodoh. “Ini kan membangun persepsi yang jelek, masyarakat Papua masih bodoh tidak bisa menggunakan hak pilihnya secara benar,”tukasnya.
Seharusnya, sambung dia, seluruh komponen memberikan pendidikan politik yang baik kepada masyarakat, agar citra atau image itu hilang. “Saya yakin masyarakat Papua bukan sebodoh yang kita bayangkan, mereka mengerti, paham dalam menggunakan hak pilihnya secara benar dan jujur, mestinya ini yang terus kita bangun,”imbuhnya.
Jangan malah membelenggu masyarakat dengan hal yang tidak benar, padahal masyarakat sendiri ingin diajarkan hal-hal yang benar dan jujur. “Jangan penguasa mengkebiri hak politik rakyat dengan tetap berupaya mempertahankan sistem noken,”tegasnya.
Dengan keluarnya keputusan KPU tentang penghapusan sistem Noken, Yan Mandenas mengharapkan ketegasan Kapolda Papua kepada seluruh jajarannya, agar mengawasi secara ketat, sistem Noken tidak lagi digunakan. “Anggota Polisi, Bawaslu yang bertanggung jawab di lapangan, harus tegas mengawasi, jangan lagi ada sistem Noken,”paparnya.
Sementara Ketua Fraksi Golkar DPRP, Ignasius Mimin berpandangan, sistem Noken adalah sebuah kearifan lokal yang mesti dihormati dan dilestarikan. “Ini kearifan lokal yang harus dihargai, kalau orang gunung duduk di Honai untuk menyelesaikan berbagai persoalan, orang pesisir duduk di para-para Pinang,”ungkapnya.
Sistem noken juga sudah berlangsung sejak dulu dan digunakan oleh masyarakat Papua yang tinggal di Pegunungan dalam menyelesaikan berbagai masalah. “Ini sudah tradisi, jadi mari kita hormati,”imbuhnya.
Yang dimaksud dengan Sistem Noken, lanjutnya, bukan surat suara diisi di dalam noken, tapi masyarakat memutuskan secara bersama siapa yang akan dipilih, kemudian menunjuk wakilnya untuk memberikan suara mereka. “Ini keputusan bersama yang dilakukan secara mufakat, agar suara mereka tidak tercecer kemana-mana,”terangnya.
Masyarakat Pegunungan juga bukan masyarakat yang bodoh, sehingga masih mempertahankan sistem Noken, namun itulah tradisi kebersamaan yang sudah terbangun sejak dahulu. “Kami orang dari Gunung bukan bodoh, namun memiliki ikatan kebersamaan yang terbangun sejak dulu, inilah yang terus melekat hingga saat ini dan harus dipertahankan,”jelasnya.
Masyarakat Pegunungan juga dalam memilih wakil atau pemimpinnya, berdasarkan ketokohan, di mana, akan melihat rekam jejak tokoh itu, apa saja yang sudah diperbuat bagi masyarakat. “Ketokohan seseorang sangat memengaruhi masyarakat dalam memiliki, itulah budaya yang terus melekat,”tukasnya.
Untuk itu, dia berharap, sistem Noken tetap dipertahankan, karena merupakan salah satu kekayaan budaya. “Dunia saja sudah mengakui Noken sebagai salah satu warisan dunia, kenapa kita tidak menghargainya dengan tetap menggunakan sistem noken dalam Pemilu, karena itu merupakan salah satu keunikan,”tandasnya. (jir/don/l03)

One Man One Vote Masih Sulit di Papua

Gubernur :  Amerika Saja Tidak Pakai Sistem itu

Gubernur Papua, Lukas Enembe  didampingi Kapolda Papua dan Pangdam XVII/Cenderawasih saat diwawancarai wartawan, Selasa 18/2 kemarin.JAYAPURA — Keinginan Komisi Pemilihan Umum (KPU) Papua  agar dalam pelaksanaan Pemilu nanti di daerah pedalaman Papua khususnya wilayah Pegunungan, untuk tetap adanya penerapan one man one vote bukan sistem noken,  di anggap Gubernur Papua Lukas Enembe, S.IP., MH masih sulit diterapkan.
“Demokrasi se-modern apapun, misalnya Amerika saja tidak pakai one man one vote, Amerika yang sudah bangun demokrasi yang luar biasa tidak pakai one man one vote, saya pikir (untuk_ konteks Indonesia susah diterapkan,” cetusnya menjawab pertanyaan Bintang Papua di Makodam XVII Cendrawasih pada Selasa (18/02) siang.
Dengan kondisi Indonesia yang terdiri dari banyak pulau, ditambah kondisi geografisnya yang bergunung-gunung, dinilai Gubernur mempengaruhi pemberlakuan sistem tersebut masih susah dilakukan, meski ia juga menginginkan hal tersebut bisa segera diwujudkan.
“Menuju kematangan demokrasi sudah pasti akan kesana, tetapi prosesnya panjang juga,” tutur Gubernur.

Karenanya Gubernur meyakini pemberlakuan sistem Noken pada Pemilu 2014 masih akan digunakan dibeberapa daerah, terutama di daerah yang selama ini masih terisolir dari peradaban.
“Untuk menghapus ini butuh waktu dan proses, kalau tahun ini KPU menginginkan (sistem noken) tidak lagi digunakan, tapi daerah-daerah yang sulit dijangkau susah dihindarkan, siapa yang ada di sana, anggota Babinsa pun belum tentu ada disana, karena memang ada kampung terpencil yang susah dijangkau,” tutur Gubernur yang didampingi oleh Kapolda Papua Mayjen Pol Tito Karnavian dan Pangdam XVII Cendrawasih Mayjen Cristian Zebua.
Namun ia mendukung upaya KPU yang terus mengeluarkan imbauan agar dalam pelaksanaan Pemilu bisa dijalankan dengan sistem yang telah ditentukan secara nasional, yaitu memakai kotak dan bilik suara.
Karenanya Gubernur memastikan dirinya tidak akan membuat permintaan kebijakan khusus kepada KPU untuk bisa memperbolehkan sistem Noken dalam penyelenggaraan Pemilu 2014 mendatang.
“Tidak, kita tetap pegang pada kesepakatan nasional, tapi sulit dihindari sistem noken itu, batas tugas kita hanya menyampaikan saja bahwa tidak boleh lagi sistem noken itu, tapi di lapangan yang terjadi sulit untuk itu,” tutur Gubernur.

Kapolda : Jika Pemilu Dilakukan One Man One Vote di Papua Akan Terjadi Konflik
Sementara itu Kepala Kepolisian Daerah Papua, Inspektur Jenderal Polisi Drs. M Tito Karnavian MA. P.hD., mengungkapkan, bahwa dalam pemilihan 2014 di Papua dengan cara One Man One Vote, maka yang akan terjadi adalah konflik.
Alasan itu menurut Kapolda Tito, ada dua hambatan dalam sistem noken di Papua yakni, pertama masalah terisolasian yang tersebar penduduk di mana-mana sehingga akses informasi dan transportasi di kawasan pegunungan khususnya sangat sulit untuk memobilisasi sistem TPS di daerah-daerah, sementara masyarakatnya menyebar di mana-mana.
Bukan hanya itu yang menjadi problema, akan tetapi kampanye bagi masing-masing para caleg ataupun para peserta politik juga sangat sulit. “Bagaimana para peserta parpol harus datang dan caleg untuk melakukan kampanye di daerah itu sementara belum bisa menempuh di daerah tersebut, sehingga kemungkinan tidak akan berkampanye dan memberikan suarat tidak tau siapa yang mau harus dipilih,” ucapnya.
Lanjut dia, sekarang para caleg mereka sudah tidak bisa berkampanye dan yang memobilisasi siapa dan mereka tidak mengenal orang-orang itu. “Nah sistem One Man One Vote bisa berjalan kalau misalnya ada akses informasi kepada semua betul-betul berjalan lancar di sana. Bagaimana mereka mau tau, radio saja tidak bisa masuk apalagi TV di daerah itu sangat sulit,” paparnya.
Kemudian kedua, kata Kapolda demokrasi Liberal One Man One Vote itu akan terbentur pada perdaban melanesia karena peradaban Bigman yang sudah berjalan ribuan tahun sedangkan perdaban baru berlangsung tahun 1998.
“Nah, apakah mungkin sistem masyarakat dengan menggunakan sistem noken bisa mengarahkan semua masyarakat dalam pemilihan One Man One Vote, saya pikir itu sangat sulit. Nah, karena sistem “Bigman” yang baru berjalan sekitar 15 tahun ini, maka sistem politik dapat mengarahkan semua tergantung pada pimpinan Kepala Suku,” ucapnya.
Kapolda menambahkan, kalau diterapkan langsung demokrasi liberal di tengah-tengah sistem melanesia ini, yang terjadi dalah kekacauan dan konflik karena mereka sudah merasa bahwa dia harus taat pada kepemimpinan “Bigman”.
“Yang jelas, sistem noken ini akan hilang sendiri pada saat akses informasi sudah ada, pendidikan sudah mulai meningkat dan ketergantungan masyarakat antara “Bigman” mulai berkurang.  “Dia akan hilang dengan sendiri, tapi untuk tahun 2014 ini belum bisa dilakukan bahwa sistem noken di tiadakan”
“Nah, jadi kalau terjadio One Man One  Vote  akan terjadi konflik dan kalau memang ada daerah yang sudah merasa siap dengan sistem One Man One Vote tidak soal dan harus dilaksanakan, namun kalau siap dengan refresentatif silahkan juga sepanjang dia bisa di hindari,” terangnya.
Lebih jauh dijelaskan Kapolda, bahwa sistem Bigman tidak bisa dibenturkan langsung dengan sistem Liberal karena sistem “Bigman” ini sudah di sepakati masyarakat. “Nah kalau sistem ini dilaksanakan dan di fasilitasi oleh KPU, maka pasukan aparat keamanan saya pikir bisa dilakukan dan kalau dipaksakan untuk harus dilakukan secara One Man One Vote juga harus dipersilahkan dan saya pikir itu akan menjadi konflik karena masih yang belum mengenal sistim ini,” pungkasnya. (ds/loy/don/l03)

Komnas HAM Minta MK Tolak Sistem Pemilihan Perwakilan

Metrotvnews.com, Jakarta: Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta Mahkamah Konstitusi bersama-sama mengawal pemilu 2014 yang berpotensi munculnya konflik pascapemilu.

Hal itu disampaikan oleh ketua Komnas HAM beserta jajaran komisionernya saat berkunjung ke Mahkamah Konstitusi (MK) yang diterima oleh ketua MK Hamdan Zoelva dan hakim MK Patrialis Akbar, Selasa (11/2).

“Menjadi kekhawatiran komnas HAM adalah terkait apa yang terjadi di Papua dan di Bali, bahwa hak sipil dan politik yang bersifat individual terancam , dimana azas pemilu yang Luber dan Jurdi tidak terlaksana, proses pemilihan tidak bisa diwakilkan,”kata ketua Komnas HAM Siti Noor Laila saat menyampaikan kepada ketua MK Hamdan Zoelva dan hakim MK Patrialis Akbar.

Komnas HAM melalui Siti meminta MK agar dapat mendorong dan memberi pegertian kepada masyarakat bahwa pemilihan tidak bisa diwakilkan. “Meminta MK agar menyampaikan kepada publik bahwa pemilu 2014 ini tidak dapat diwakilkan seperti yang terjadi di Pilkada Papua dan di Bali dimana pemilihan dapat diwakilkan oleh ketua masyarakat setempat,”terang Siti.

Komnas HAM mempertanyakan sistem pemilihan yang dapat diwakilkan dan dilegalkan oleh MK. “Kami mengkhawatirkan hal tersebut bisa terulang di pemilu legislatif dan pemilu presiden mendatang,”kata Siti.

Menurutnya sistem tersebut diperbolehkan oleh MK dalam putusannya dalam gugatan pilkada di Bali dan di Papua. “Sistem noken atau pemilihan diwakilkan di Papua dan Bali, telah menjadi bahan diskusi Komnas HAM, memilih dalam Pemilu merupakan hak sipil dan politik yang bersifat individual dan tidak bisa dimandatkan pada siapapun mengingat asas Pemilu yang telah diatur dalam undang-undang,”tandasnya. Untuk itu Komnas HAM meminta MK agar menjelaskan kepada masyarakat soal pemilu 2014 yang tidak menggunakan sistem tersebut.

Dalam menanggapi hal tersebut , ketua MK Hamdan Zoelva mengatakan yang ditemukan di Bali dan Papua merupakan kasuistis dan tidak melahirkan norma yang bersifat hukum. “Prinsip dasar pemilihan itu tidak boleh diwakilkan. Putusan peradilan yang ditemukan di MK berdasarkan kasuistis. Pilkada dengan sistem tersebut di Papua tidak semuanya terjadi di seluruh daerah Papua, hanya di daerah pegunungan saja. Ada banayak faktor yang kita temukan di sini, jarakmya yang bertebaran dimana-mana. Jadi initinya sistem itu tidak berlaku umum dan kasuistis.

Ini kasus spesifik,”kata Hamdan.

Sementara menurut hakim MK lainnya yang bertemu dengan komisioner Komnas HAM, Patrialis Akbar mengatakan banyak kasus gugatan Pilkada yang masuk ke MK, ditemukan money politic, pengerahan masa, tindak kekerasan dan dimenangkan oleh putusan MK, tapi bukan berarti MK membenarkan tindakan tersebut.

“Dalam pilkada, terbukti di persidangan ada money politic, kekerasan, dan pengerahan massa. Tapi bukan kita membenarkan tindakan tersebut. Tetapi tindakan itu apakah mempengaruhi perolehan suara ataU tidak mempengaruhi perolehan suara,”tukas Patrialis. (Adhi M Daryono)

Editor: Edwin Tirani
Sumber: http://m.metrotvnews.com/read/news/2014/02/11/215096/-Komnas-HAM-Minta-MK-Tolak-Sistem-Pemilihan-Perwakilan#.UvphtD8s2_Q.facebook

Komnas HAM Minta KPU dan Bawaslu Tolak Sistem Pemilu Noken


JAKARTA,KOMPAS.com - Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) meminta Komisi Pemilihan Umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu) menolak sistem pemilihan dengan diwakilkan kepala suku seperti sistem noken di Papua pada pemungutan suara Pemilu 2014."Dengan DKPP (Dewan Kehormatan Penyelenggara Pemilu) kami bahas soal sistem dalam pemilu, seperti noken di Papua, kemudian di Bali beberapa waktu lalu yang satu orang bisa mewakili ribuan orang. Kami minta KPU, Bawaslu, DKPP menolak. Salah satunya, karena sistem itu justru memicu konflik," kata Komisioner Komnas HAM Natalius Pigai di sela-sela pertemuan dengan Bawaslu di Gedung Bawaslu, Jakarta Pusat, Senin (3/2/2014).

Ia mengatakan, memilih dalam Pemilu adalah hak asasi. Lebih jauh, kata dia, hak asasi merupakan hak individu yang melekat pada diri setiap orang.
"Azas pemilu langsung, umum, bebas, rahasia yang perlu dilaksanakan pemerintah. One man, one vote, one value system," kata Pigai.
Apalagi, katanya, tidak ada aturan perundang-undangan yang menjadi dasar hukum sistem noken. Dalam penyelenggaraan pemilihan kepala daerah (pilkada) di Papua, lanjutnya, justru memakan lebih banyak korban seperti Pilkada Kabupaten Tolikara, Provinsi Papua. Akibat sistem noken, bahkan konflik terjadi di antara suami dan istri.

Contact Us

Stats

Archive

Video Of Day

Send Quick Massage

Nama

Email *

Pesan *

Catwidget2

Catwidget4

Catwidget3

Diberdayakan oleh Blogger.

Translate

Entri Populer

Search This Blog

Popular Posts

Entri Populer

Entri Populer

Entri Populer